Tuesday, 7 October 2014

Nuun, walqolami wamaa yasturuun. “Nun, Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.” (Alqolam:1)
Alladzii ‘allama bil qolam. “Yang mengajar manusia dengan pena” (Alalaq:4)
"Bila anda ingin mengenal dunia, membaca lah! jika anda ingin dikenal oleh dunia, menulis lah!"

Dari sumber inspirasi di atas, kata yang saya cetak tebal adalah kata “Pena” dan “Menulis”. Untuk apa Pena? So pasti untuk menulis. Ya anda betul. “Menulis”. 
Pasti kita membayangkan bahwa menulis adalah hal sangat sulit. Terlebih bila kita tidak memiliki kemampuan untuk menulis serta merangkai kata. Dengan mengikuti langkah - langkah cara membuat buku (menulis buku) dibawah ini, bukan hal yang mustahil bila pada akhirnya kita berhasil menulis sebuah buku.
Namun sebelumnya ada beberapa hal yang perlu dipahami dan dilakukan oleh seorang penulis pemula.
Yang pertama, kita harus sadar dan paham bahwa knowledge Is Power (Pengetahuan Adalah Kekuatan). Dalam menulis buku, Anda butuh pengetahuan. Bila Anda tahu cara menulis buku yang baik dan benar, Anda akan sangat beruntung karena akan ada banyak buku yang akan Anda terbitkan.
Untuk mendapatkan pengetahuan, kuncinya hanya satu: Belajar. Bila suka belajar, Anda akan tahu. Namun sebaliknya, cobalah tidak belajar, dunia Anda akan gelap.
Begitu pula, untuk mendapatkan pengetahuan menulis buku, kuncinya hanya satu: Belajar. Bila Anda mau dan suka belajar, Anda akan tahu. Namun bila Anda menganggap belajar itu mahal, maka cobalah ketidaktahuan. Ketidaktahuan jauh lebih mahal harganya.
Amalkan firman Tuhan yang berbunyi:
“Iqra! Bismirabbikalladzii kholaq” “Bacalah! dengan nama tuhanmu yang menciptakan” (Al-Alaq:1)
Cobalah baca sebanyak-banyaknya buku – buku orang lain. Dari buku yang anda baca, anda akan mendapatkan inspirasi buku yang akan anda tulis. Apa yang anda tulis adalah apa yang anda baca. So, banyak-banyaklah membaca mulai dari sekarang. Selain anda akan mendapatkan ilmu dan pengetahuan, anda juga akan mendapatkan pahala karena mengamalkan perintah Tuhan.
Yang kedua, anda harus menjadikan “work is a pleasure” (Bekerja Itu Menyenangkan). Untuk menciptakan satu buku, Anda harus menulis dengan senang dan bergembira. Anda harus seperti sedang menangguk emas. Anda harus menulis dengan ringan dan mengalir, tidak ada beban, tidak ada tekanan. Namun bila menulis masih terasa berat bagi Anda, berarti Anda belum menganggap menulis buku sebagai sesuatu yang berharga seperti emas.
Bila demikian, Anda harus tetap menulis, jangan berhenti. Tenang saja karena merasa berat dalam memulai segala hal adalah biasa. Coba ingat-ingat lagi saat Anda pindah atau bergaul dengan lingkungan dan orang baru, Anda merasa berat dan kaku, kan? Begitu juga dalam memulai menulis, apalagi sudah mulai menulis buku, Anda akan merasa berat menjalankannya. Akan ada banyak halangan dan rintangan yang akan merayu Anda untuk tidak menyelesaikan tulisan atau buku Anda. Tips untuk keluar dari situasi ini adalah dengan menyadari dan percaya bahwa, keadaan seperti ini adalah biasa dalam memulai sesuatu. 
Yang ketiga, anda harus sadar bahwa “No Pain No Gain”. Akan ada banyak pain (kesakitan), akan ada banyak masalah sepanjang jalan menuju tambang emas Anda (Gain). Memang demikianlah aturan mainnya. Dan untuk itu, Anda harus bekerja keras untuk mengusahakan sesuatu yang sangat Anda inginkan.
Jika semua lancar lancar saja, jika semuanya mudah mudah saja seperti semudah membalikkan telapak tangan, maka impian Anda mungkin terlalu kecil, atau sesuatu itu tidak layak dilakukan. Impian yang besar, biasanya, kesakitan atau tantangannya juga besar!
Apakah Anda pernah atau bahkan sering mendengar pernyataan ini? Ya, satu sikap wajib yang harus diambil seorang penulis yang bijak ketika halangan dan rintangan itu terus menghadang adalah: Terus berjuang dan  Never Give Up, jangan menyerah.
Jika anda sudah memahami dan melakukan hal hal di atas, maka saya yakinkan bahwa anda sudah siap menulis. Berikut adalah langkah langkah yang harus anda lakukan dalam menulis buku.

1. TENTUKAN JUDUL
Langkah termudah adalah menentukan judul yang berkaitan dengan sesuatu yang telah kita kuasai. Sebetulnya penentuan judul bisa kita lakukan setelah kita selesai menulis, namun untuk mendapatkan gambaran awal tentang tema yang akan kita tulis, perlu untuk memikirkan judul dari pertama kita hendak menulis.

2. TENTUKAN TARGET PEMBACA BUKU KITA
Dengan menentukan target pembaca buku kita maka kita memiliki gambaran tentang isi dari buku yang kita tulis. Misal, target pembaca buku kita adalah remaja, maka isi buku yang akan kita tulis tidak jauh dari seputar kehidupan remaja dan bahasanya pun disesuaikan dengan bahasa pergaulan remaja masa kini. Jika target pembaca kita adalah pemeluk agama islam, maka isi buku kita akan berisi seputar masalah – masalah keislaman.

3. BUAT RINGKASAN IDE 
Ini penting sekali karena ada kalanya kita sedang dalam keadaan tidak mood menulis namun banyak ide berseliweran di kepala kita. Tulis dan rangkum ide - ide tersebut supaya kita bisa tetap menggunakannya suatu saat nanti.

4. MULAI MENULIS
Bila ketiga hal diatas telah selesai kita lakukan, maka langkah selanjutnya adalah kita bisa mulai menulis tanpa khawatir kehabisa ide tentunya

Keterangan:
Untuk bisa mengasah kemampuan kita untuk menulis buku, maka akan sangat lebih baik bila kita mengikuti kelompok / milis penulis buku sehingga kita bisa banyak belajar dari teman - teman yang memiliki passion yang sama.
Dengan menulis, insyaAllah hidup anda akan lebih bermanfaat bagi orang lain. "Khoirunnaas anfauhum linnaas"


Sunday, 4 May 2014

Shalat adalah salah satu kewajiban yang disyariatkan dan diwajibkan Allah atas hamba-hambaNya. Yang diwajibkan ialah shalat lima kali yang terus berulang setiap hari dan setiap malam. Ia adalah rukun penting di antara rukun-rukun islam, posisinya berada setelah dua kalimat syahadat, selanjutnya adalah zakat, puasa dan haji.
Shalat lima waktu terbagi dalam sehari semalam dengan pembagian waktu yang mendidik. Ia melatih seorang muslim untuk bangun pagi, menyambut harinya, menyambut anugerah Tuhannya dan kebaikan-kebaikan harinya sehingga ia menjadi giat dan bersemangat sebagaimana yang disebutkan di dalam hadist. Kemudian ia mendapati di hadapannya terpampang waktu yang tidak kurang dari enam jam, antara shalat subuh dan shalat dzuhur, di situ ia bisa menyelesaikan banyak aktifitas, dengan penuh kekuatan dan semangat.
Setelah lelah beraktifitas, ia menjumpai shalat dzuhur. Bersegera ia mengambil air wudhu, mendirikan shalat, berjumpa dengan banyak orang, berjajar dengan rapi dalam barisan rabbani, untuk menyebut asma Allah swt, membaca Al-Qur’an, berdoa kepadaNya untuk segala urusannya, ruku’ dan sujud kepadaNya, guna meraih anugerah, rahmat dan keberkahan Tuhannya, dari segenap keikhlasan, kejujuran, ketundukan dan kepatuhan yang telah ia persembahkan, serta dari permohonan pertolongan dan tawakal kepadaNya. Sehingga ketika seorang muslim keluar dari shalatnya, rasa lelahnya telah sirna, letihnya telah hilang, hatinya telah menjadi tenteram, ia telah terbersihkan dari kesalahan, ketergelinciran dan dosa yang mengotorinya.
Kemudian ia pergi mencari karunia Allah dan selalu mengingatNya, ia kembali pada aktifitasnya dengan hati dipenuhi kecintaan akan kebaikan hamba-hamba Allah. Apabila aktifitasnya telah selesai, ia kembali kepada keluarganya dengn hati yang lapang, jiwa yang ridha, wajah yang berseri, sebab ia akan berjumpa kembali dengan ayah, ibu, atau istri dan anak-anak yang telah menunggu kepulangannya, yang bergembira melihat kehadirannya.
Semua karunia itu berasal dari Allah, yang telah melapangkan hatinya di awal hari ketika shalat pada pagi-pagi buta, yang telah membasuh hatinya di tengah hari ketika pergi menunaikan shalat, untuk ruku’ sujud dan bertakbir kepadaNya. Setelah selesai menyantap santapan siangnya, ia mendengar seruan untuk shalat pertengahan, shalat ashar, guna menyempurnakan kebaikan harinya, untuk menunaikan kewajiban bersyukur kepada Tuhannya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan, yang memberinya makan dan minum. Kemudian ia menjumpai satu waktu yang tidak pendek untuk beristirahat. Setelah itu ia bisa pergi menuntaskan aktifitasnya, atau pergi menuntut ilmu, atau melakukan kebaikan untuk manusia, atau menyantuni dan memberi dukungan kepada anak yatim, atau memberi bantuan dan pertolongan kepada orang lemah.
Lalu seorang muslim memulai malamnya dengan shalat maghrib, sebagaimana ia memulai harinya dengan shalat fajar. Malaikat-malaikat rahmat berjalan mengiringinya, cahaya iman merebak di sanubarinya, setan dan iblis menjadi risih kepadanya, dan di sekelilingnya berkumpul jiwa-jiwa yang baik suci. Ketika hendak pergi tidur, shalat isya’ menjadi penutup segala aktifitasnya dan pelepas harinya. Di situ ia bertemu dengan Allah untuk memohon ampun dan bertobat, ia memohon agar ditutup dengan keimanan, ia meminta rahmat dan ampunan, jika Dia mencabut nyawanya ketika itu Dia merahmatinya, dan jika tidak mencabutnya semoga Dia menjadikannya selalu bersama hamba-hambaNya yang ikhlas.
Di dalam shalat terdapat ucapan dan gerakan, yang lebih mirip dengan sistem khusus. Dengannya seseorang terlatih untuk mengetahui bahwa pengulangan sistem ini sebanyak lima kali dalam satu hari menjadikan seseorang terikat dengan Tuhannya melebihi keterikatannya dengan apapun yang lain, menjadikannya  merasa bahwa sifat rabbaniahnya itulah hakikat dari kehidupannya sebagai manusia, dan bahwa setiap sendi di dalam tubuhnya bergerak berulang kali berdasar perintah Tuhannya, bahwa kalam Allah di dalam kitab suci lah yang menjadi asupan ruhnya, menjadi kebahagiaan hatinya, dan bahwa kejernihan ruhnya brsama Allah menjadikannya lupa akan segala kesulitan hidup.
Shalat menghimpun semua bentuk dzikir. Di mulai dari bacaan kitab Allah, diakhiri dengan shalawat kepada rasul. Shalat menjadikan seorang muslim yang jujur turut merasakan kondisi saudara-saudaranya, yakni ketika ia berucap.
“Assalaamu ‘alaina wa’alaa ‘ibaadillahish shaalihiin”
“Semoga kesejahteraan tercurah kepada kita, juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Shalat mengharuskan kaum muslimin untuk selalu terikat dengan masjid, yang merupakan area rabbani tempat berkumpulnya orang-orang mukmin yang jujur.
Di dalam masjid ini barisan-barisan berjajar rapi, jiwa-jiwa bersatu, para pembesar menjadi tawadhu’, orang-orang kaya tertunduk, kaum fakir miskin terhibur, para pemimpin dan yang dipimpin bertemu, semuanya mendengarkan kalam Allah, tidak mengagungkan siapapun selain Dia. Duhai betapa indahnya jika ditemukan hati-hati yang sadar, betapa indahnya jamaah jika tersusun dari jiwa-jiwa yang jernih.
Ya Allah, kembalikanlah kaum muslimin kepada jalan yang lurus, jalan para nabi, orang-orang yang jujur, kaum syuhada’ dan orang-orang saleh. Aamiin.

Sunday, 6 April 2014




Menikah, sepertinya indah dan penuh bunga – bunga harapan. Hidup berdua dengan seseorang yang (akan) kita cintai sepenuh hati. Membingkai ibadah dalam sebuah rumah tangga, ah… betapa keindahan yang tidak bisa diungkap dengan kata – kata. Siapapun akan segera membayangkan kebahagiaan begitu berfikir tentang pernikahan dan rumah tangga.
Tetapi menikah juga mengguratkan sebuah kekhawatiran, mungkinkah ada seseorang yang “tepat” bagi saya. Bukan hanya tepat dalam pandangan fisik dan duniawi, tapi tepat dalam semangat dan cita-cita untuk senantiasa produktif berkarya bagi umat. Meski samar dan tersembunyi, dalam lubuk hati tetaplah ada kegelisahan dan pergolakan.
Jika Anda seorang perempuan, Anda harus rela membuka ruang intervensi yang mengganggu “kemerdekaan” Anda saat ini. Tiba-tiba ada seseorang yang mempunyai hak untuk menanyakan ke mana Anda akan pergi, bukan saja bertanya, tapi juga menyuruh dan melarang. Tiba-tiba saja ada seseorang yang berhak tahu segala sesuatu tentang diri anda, luar dalam, hingga ke emosi dan perasaan Anda. Sepertinya agak serem, ya…….?
Pembaca yang terhormat, pernikahan adalah sebuah fase dalam kehidupan manusia. Pernikahan bukanlah terminal akhir, bahkan ia menjadi awal bagi sebuah proses perubahan. Artinya, janganlah Anda berharap akan menemukan seseorang dengan segala sifat kesempurnaan sesuai identitas yang Anda bangun. Saya ingin menegaskan ini untuk mengingatkan Anda yang bersikap perfect dan menginginkan kesepurnaan calon pasangan. Anda jangan hanya ingin “terima jadi” bahwa seorang ikhwan yang ideal, atau akhwat yang sempurna, datang kepada Anda dan memenuhi segala kriteria yang anda harapkan. Tetapi Anda harus rela dan berani untuk bersama-sama membangun pribadi yang diharapkan. menerima tidak hanya kelebihannya, tapi juga kekurangan yang pasti ada padanya, sebagaimana juga ada pada Anda. Yang penting Anda mantap bahwa ia yang terpilih adalah seseorang yang memiliki visi dan misi yang sama. Bahkan jika Anda agak lambat mendapat pencerahan, proses inqilab (perubahan, pembalikan) menuju kebaikan, bisa saja dimulai setelah beberapa waktu pernikahan berjalan. Tak ada kata terlambat. Hanya saja jika salah pilih, proses itu akan berjalan lambat, stagnan, atau bahkan bergeser dari arah kebaikan.
Ummu Salamah adalah contoh perempuan unggul yang membuka ruang pencerahan bagi calon suaminya. Abu Thalhah. Dan sejarah mencatat, bahwa Abu Thalhah yang tadinya belum masuk islam akhirnya menjadi seorang mujahid dakwah.
Modal utama untuk menjadi dinamisator perubahan pada pasangan adalah keyakinan diri, kesiapan untuk berubah, karakter yang kuat dan keteladanan. Ditambah dengan keterampilan mengkomunikasikan ide (yang ini pun bisa saling dilatih kemudian). Apabila ada kesiapan dalam diri Anda untuk memberi dan menerima, saling berlomba dalam menunaikan kebajikan, siap berubah menuju tuntutan ideal, maka Anda telah memiliki semua persyaratan untuk membangun rumah tangga yang harmonis.
To be continued…..
Referensi:
Takariawan, cahyadi. Di Jalan Dakwah Aku Menikah

Sunday, 2 March 2014

Oleh: Ade Hidayat

Bulan Ramadhan telah tiba, dan mesjid pun mulai ramai lagi terutama oleh anak-anak. Sebelum waktu Isya tiba, anak-anak itu telah datang ke mesjid untuk berebut tempat shalat. Seperti kebiasaan, ketika menunggu shalat, mereka berlari-larian, bercanda, dan bermain apa saja yang bisa mereka lakukan. Sepertinya memang itulah yang mereka harapkan, ingin bermain-main, karena kapan lagi mereka bisa bermain-main di mesjid bersama teman-teman sebanyak ini? mereka bisa berlari sesuka mereka, dan biasanya orang-orang tua pun jarang  melarang anak-anak tersebut, dan kalaupun melarang hanya sekedarnya saja, karena mereka pun maklum akan keramaian yang biasa terjadi setahun sekali ini.
Di hari pertama Ramadhan, ketika mendengar suara adzan berkumandang, aku pun berangkat ke mesjid untuk menjalankan ibadah shalat isya dan salat Taraweh berjamaah. Di mesjid, keadaan begitu ramai dan penuh. Maklum, hari-hari pertama biasanya masih penuh, tapi biasanya minggu ke dua dan ketiga mulai jarang lagi, dan minggu terakhir kadang ramai, atau bahkan lebih sepi lagi karena biasanya orang-orang telah sibuk untuk mempersiapkan lebaran. Aku kaget juga ketika sampai di Mesjid, ternyata tempat sudah penuh dan ada juga beberapa orang yang menggelar tikar di samping mesjid untuk mengikuti shalat tarawih berjamaah. Melalui jendela, aku berusaha mencari tempat di dalam yang kira-kira bisa untuk satu orang lagi, tapi ternyata tidak ada lowongan, penuh.
Ketika berusaha mencari tempat itu, ada tetanggaku yang mengusulkan untuk mengikuti berjamaah dari luar saja, dengan menggelar tikar/koran. Aku setuju, lalu kami mengambil koran dan sajadah dan jadilah kami solat di pinggir mesjid.
Di hari berikutnya, aku berangkat lebih awal, dan aku bisa masuk ke dalam mesjid walaupun penuh juga, tapi aku bisa lebih tenang dari pada malam kemarin ketika di luar. Di dalam ini, aku mendapat shaf hampir paling belakang, yang di shaf ini banyak anak kecilnya yang selalu ribut, membuat buyar konsentrasi ibadah. Tapi mau bagaimana lagi, anak-anak itu susah diatur.
Di sini ada hal yang menurutku sangat menarik, mungkin ini sudah biasa, tapi ini menjadi luar biasa saat kupikirkan dan rasanya aku tidak akan bisa melakukannya..
Di sebelahku ada seorang ayah bersama anaknya yang masih kecil sedang melakukan shalat tarawih berjamaah. Karena mereka tepat berada di sebelahku, maka mau tidak mau aku melihat tingkah anak itu yang tak bisa diam sedikitpun. Dimulai ketika ayah dan anak itu masuk mesjid, sampai berada di sebelahku, aku perhatikan ayah  dan anak itu, karena kuakui anak itu cakep juga, dan si ayah pun terlihat berwibawa dan gagah. Tapi kuperhatikan pula bahwa si anak begitu terlihat ‘sangat agresif’, tak sedetikpun ia diam dan mengikuti shalat tarawih dengan baik, melainkan dia selalu saja berisik, berjalan, berlari, dan kadang tertawa dengan temannya yang lain.
Tadinya aku tidak memperdulikan tingkah anak itu, tapi lama-kelamaan, tingkahnya itu menjengkelkan juga, bahkan sering juga lewat di depan ku, dan jika hendak sujud, aku atau pun si ayah tadi harus menunggu si anak menyingkir terlebih dahulu. Ketika rakaat shalat telah beres, si ayah mengingatkan anaknya agar tidak jalan-jalan dan mengikuti shalat dengan baik, pertama si anak nurut, dan meng-iya-kan, tapi kenyataannya tetap seperti biasa, jalan-jalan dan mengganggu saja, sekali-sekali menaiki ayahnya yang sedang sujud atau rukuk, duduk di pangkuan ayahnya ketika sedang duduk akhir, atau duduk di tempat sujud.
Aku yang tidak diganggu secara langsung saja merasa jengkel terhadap anak itu, ingin rasanya aku pindah tempat shalat, tapi semua tempat telah penuh. Akhirnya mau tidak mau, aku harus mengikuti setiap kegiatan anak itu, yang jelas sekali itu pun menggangguku.
Bukan satu dua tiga kali si ayah tersebut mendapat beban dipunggungnya saat sujud, atau saat rukuk. Tapi yang membuat menarik, si ayah tersebut begitu sabar menghadapi anaknya itu. Dari raut mukanya tidak terlihat kebencian atau kejengkelan terhadap anaknya bahkan ia tetap menasihati anaknya itu dengan senyum dan dengan penuh kasih sayang, Subhanallah begitu hebatnya. Begitu sabarnya orang tua itu menghadapi kenakalan anaknya. Kalau aku, mungkin sudah marah-marah atau bahkan sudah kupukul anak itu.
Menjelang witir, anak itu makin menjadi-jadi tingkahnya, tidur-tiduran di depan tempat sujud ayahnya, lalu lari ke depan orang lain yang sedang solat, secara berulang-ulang, dan akhirnya anak itu menangis karena terantuk alas solat dan terjatuh. Melihat hal itu, si Ayah tadi langsung memangku anaknya kemudian keluar mesjid, tanpa  menyelesaikan witirnya. Mungkin kesabarannya hilang setelah melihat si anak mengganggu orang lain.
Aku tidak mengetahui kelanjutan nasib anak tadi, tapi yang pasti aku yakin bahwa ayah tadi tidak akan memarahi anaknya, paling juga hanya menasihatinya saja.
Setelah tarawih dan witir selesai, aku tidak langsung pulang, tapi tadarusan dulu di mesjid. Di sela-sela tadarusan, aku sempat berfikir dan teringat juga tentang kejadian tentang kesabaran ayah tadi, aku berfikir mungkin dulu pun aku seperti itu, bahkan  bisa dipastikan seperti itu. Aku merenung, betapa sabarnya orang tua ku juga, mengajakku ke masjid, yang sebenarnya aku begitu merepotkan. Tapi pasti orang tuaku (juga orang tua tadi berharap pada anaknya) berharap aku akan terbiasa untuk shalat ke masjid,  walaupun orang tuaku harus bersusah  terlebih dahulu.
Lama sekali aku merenung, sampai tak terasa orang yang tadarusan sudah pada pulang dan tinggal aku sendirian di masjid. Kutengok jam dinding, sudah jam 11.30 malam. Masih dengan mengingat kejadian tadi, samar-samar aku melihat si Ayah tadi dengan anaknya sedang solat pada shaf paling depan, dan anehnya, anak yang sejak tadi mengganggu shalat orang tuanya itu kini terlihat begitu baik, mengikuti setiap gerak ayahnya. Aku jadi terharu melihat anak itu, masih kecil tapi begitu baik dan menuruti orang tuanya. Kelak pasti anak itu akan menjadi anak yang soleh. Tapi saat yang bersamaan, aku mendengar suara anak kecil di shaf paling belakang. Aku sempat  terhenyak, ketika samar-samar aku melihat juga si Ayah tadi sedang shalat dengan anaknya, tapi terlihat berbeda dengan yang shalat di depan, anak si Ayah ini terlihat berlari-lari mengelilingi ayahnya yang sedang shalat, sesekali anak itu menaiki punggung ayahnya jika sedang sujud.
Aku terhenyak saat tersadar bahwa aku tidak melihat siapa-siapa baik di depan maupun di shaf  belakang. Aku segera keluar dari mesjid untuk pulang, aku tidak mau lama-lama melihat bayangan-bayangan tadi.
Sebenarnya aku masih saja berpikir tentang anak tadi, apakah aku dulu seperti itu? wah merepotkan sekali aku pada orang tuaku. Aku jadi teringat pada ayahku yang telah tiada, yang dulu telah banyak aku susahkan. Ayah, semoga kau dapat melihatku yang baru pulang dari mesjid ini. Aku ke mesjid ini juga adalah hasil kerja kerasmu mendidikku, bersabar dengan segala kenakalanku, dan dengan kasih sayang mengajarkan pentingnya untuk memakmurkan mesjid. Ayah, aku janji, setiap langkahku ke mesjid ini, kau pun akan menuai pahala darinya. Amin.





Kata yang selalu terucap dari mulutku adalah Dia. Nama yang selalu ada dalam pikiranku adalah Dia. Dan setiap aktivitas yang kulakukan pun kuniatkan untuk Dia. Dia, Dia dan Dia. Dia yang membuat makanku tak enak, tidurku pun tak nyenyak. Setiap saat wajahnya selalu terbayang di mata dan pikiranku. Dia hampir saja membuatku gila. Jika saja tidak ada Tuhan di dekatku, mungkin aku sudah gila saat ini. Di setiap sepertiga malam aku selalu mengadu dan bercerita kepada Tuhan tentang Dia. Tentang suaranya yang halus, tertawanya yang renyah, tentang senyumnya yang menawan dan hal apapun tentang Dia, selalu kuceritakan kepada Tuhan.
Pagi itu, tak sengaja aku melihat Dia tengah mengobrol di saung dekat lapangan utama kampus dengan teman-temannya. Sebetulnya aku sengaja mencari Dia karena aku ingin sekali melihat Dia. Tapi aku tak berani mendekat. Aku hanya menikmati keindahanya dari jauh. Hingga tak sengaja pandangannya beradu dengan pandanganku.
“Ah hatiku rasanya mau copot, Tuhan.
Matanya sangat bening dan pandangannya menunjukan kharisma agung seorang perempuan. Kucoba tuk pergi namun Dia memanggilku. “Oh Tuhan, seperti terbang rasanya hatiku ketika Dia menyebut namaku.” Terpaksa aku harus berhadapan dengan Dia, suatu hal yang sangat kuhindari. Hatiku meleleh bila berada di dekatnya. Diibaratkan penyakit, cintaku ini sudah mencapai stadium empat, yang mendapat vonis tidak ada harapan lagi untuk disembuhkan.
Dia melangkah semakin dekat kepadaku. 10 meter, 9 meter, 8 meter….2 meter hingga 1 meter Dia berada di depanku. Tiba-tiba aku merasa kepalaku pusing dan kakiku lemas tak kuasa menopang berat badanku. Sayup-sayup ku mendengar Dia berteriak memanggil namaku ketika ku terjatuh tak sadarkan diri.
Tuhan, mengapa aku harus mengalami hal ini? aku takut rasa cintaku kepadanya akan memalingkanku dariMu. Aku takut cintaku yang amat sangat kepadanya suatu saat akan berubah menjadi dendam. Padahal Kau telah mengingatkan kepada hambaMu, “Cintailah sesuatu sewajarnya, karena bisa jadi besok ia akan menjadi sesuatu yang kau benci.” Aku tak mau hal itu terjadi kepadaku dan kepada Dia.
Aku tahu Kau selalu mendengar keluhanku, Tuhan. Tak hanya mendengar, tapi Kau juga memberiku solusi. Aku yakin hal yang kukatakan pagi itu adalah solusi yang Kau berikan. Ketika ku terbangun dari pingsan, ku dapati Dia berada di sampingku. Kulihat wajahnya panik dan cemas. Mungkin Dia menghawatirkan keadaanku, semoga saja, pikirku. Melihat aku tersadar, wajahnya terlihat cerah kembali dan langsung menanyakan keadaanku.
Ku jawab “Baik-baik saja, terimakasih telah menghawatirkanku. Kutatap wajahnya dalam-dalam. “Aku minta maaf telah merepotkanmu.”
“Tak apa-apa, aku malah senang bisa membantu. Tapi...., kenapa kau terjatuh ketika ku dekati?” Dia bertanya kepadaku.
“Dag..dig..dug.. Jantungku berdegup kencang. Ingin kukatakan yang sebenarnya, tapi aku tak mempunyai keberanian untuk mengatakannya. Ku hanya terdiam.
“Kenapa?” Dia ulangi pertanyaannya.
Ku pejamkan mata lalu kupanggil nama Tuhan di dalam hatiku. Tiba-tiba hal yang aneh terjadi kepadaku. Aku seperti berada di sebuah taman yang sangat indah. Dihiasi bunga yang berwarna-warni dan beraneka ragam jenis. Di bawahnya sungai berair jernih mengalir deras. Nyaman sekali berada di sini. Apakah ini yang namanya surga? Entahlah. Kurebahkan tubuhku di rerumputan. Kutarik nafas dalam, lalu kuhembuskan. Hal itu berulang-ulang kulakukan. Membuat diriku semakin nyaman dan semakin nyaman. Tak ingin rasanya ku beranjak dari sini. Tapi aku merasa di luar sana ada sesuatu yang menungguku. Entah apa atau siapa. Sebuah tangan halus menyentuhku. Lalu kudengar suara. “katakan saja isi hatimu.” Kurasakan kekuatan besar membangunkanku. Seketika itu juga meluncur kata-kata yang ingin sekali kuungkapkan.
“Sebetulnya dari dulu aku menyintaimu, bersediakah kau menikah denganku?”
Hening sejenak. Lalu terdengar sebuah jawaban. “Iya aku bersedia.” Kata-kata itu meluncur menyejukan hatiku. Akhirnya aku tahu ternyata Dia juga menyukaiku dari dulu. Kemudian kami merencanakan untuk menikah bulan depan, setelah kedua orang tua kami saling bertemu.
“Begitulah Tuhan, cerita cintaku dengan Dia. Aku mohon ampun karena hampir satu bulan ini aku tak pernah bercerita lagi kepadaMu. Karena aku ingin memberikanMu surprise Tuhan. Kau mau tahu? Aku telah menikah dengan Dia.
“Sayaaang..... Terdengar suara yang sangat lembut dari belakang. “Hm.. Kau ini lucu sekali sayang, pasti Tuhan sudah tahu kita telah menikah. Tuhan kan maha tahu.
“Oh, sayang, kau sudah bangun? Ayo amini doa ini”.
*****
Bismillahirrahmaanirrahim….
Ya Allah jika aku jatuh cinta, cintakanlah aku
Pada seseorang yang melabuhkan cintanya kepadaMu,
Agar bertambah kekuatanku untuk menyintaiMu…

Ya muhaimin, jika aku jatuh hati, izinkanlah aku
Menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut padaMu
Agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta nafsu…

Ya Rabbana, jika aku jatuh hati jagalah hatiku
Padanya agar tidak berpaling daripada hatiMu
Ya Rabbul izzati, jika aku rindu, rindukanlah aku
Pada seseorang yang merindui syahid di jalanMu…

Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasihMu
Janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan
Indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirMu…

Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasihMu
Jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam
Perjalanan panjang menyeru manusia kepadaMu…
Aamiin.
*****

Pandeglang, 7 Desember 2011

Thursday, 30 January 2014

Azan



Soleh, itulah namanya. Umurnya baru 10 tahun. Tapi tidak seperti kebanyakan anak seusianya yang masih senang bermain, Soleh lebih memilih menghabiskan waktunya dengan belajar dan menemukan sesuatu hal yang baru. Soleh penuh dengan rasa ingin tahu. Tanya ini tanya itu, sehingga kedua orangtuanya pun angkat tangan, tak kuasa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anaknya. Selain itu, perilakunya pun mencerminkan namanya. Dia berbakti kepada kedua orangtuanya, tidak sombong, dan rajin menabung. Dia juga rajin sekali sembahyang di masjid. Entah dari mana dia mewarisi sifat seperti itu. Orangtuanya pun heran dengan kelakuan anaknya. Namun setiap kali dia pulang shalat dari masjid, dia selalu mengeluh kepada ibunya.
“Mah, setiap Soleh shalat di masjid, jamaahnya kok sedikit ya? Paling banyak cuma 5 orang, itu pun sudah bau tanah semua, alias kakek-kakek.”
“Mungkin mereka sibuk nak, jadi tidak sempat sholat di masjid.” Jawab ibunya.
“Tapi mah, Soleh lihat banyak kakak-kakak yang masih nongkrong-nongkrong di warung, padahal lagi azan. Kenapa mereka gak cepet-cepet pergi ke masjid mah? Kan ustadz Mahmud pernah bilang kalau di masjid lagi azan, kita disuruh cepet-cepet pergi ke masjid, tinggalkan semua aktivitas untuk solat.”
“Hmm, mungkin mereka sholatnya di rumah, sayaang…”
“Tapi kan sholat berjamah di masjid itu lebih baik dari pada sholat sendirian mah?”
“Emmm…. Mungkin...” sang ibu berfikir sejenak. “Coba kamu tanya pak ustadz Mahmud.”
Begitulah, setiap kali tak bisa menjawab pertanyaan anaknya, ibu selalu menyuruh Soleh bertanya kepada ustadz Mahmud, guru mengajinya.
Pada suatu hari. Ketika waktu asyar tiba, Soleh bergegas pergi ke masjid untuk mengumandangkan azan. Biasanya ustadz Mahmud yang azan, namun kebetulan hari itu, sang ustadz sedang pergi keluar kota mendapat undangan untuk mengisi ceramah. Oleh karena itu ustadz Mahmud menyuruh Soleh untuk azan di masjid sebelum dia pergi.
“Bismillahirrahmaanirrahim..” Soleh mulai mengeluarkan suaranya.
“Allahu akbar.. Allaaahu akbar!
Asyhaduallailaahaillallaaaah…
Asyhaduanna Muhammadarrasulullaaah….”
Selesai azan, satu orang kakek tua renta datang. Soleh melanjutkan dengan sholat sunah rawatib. Sambil menunggu jama’ah yang lain, Soleh duduk sambil berdzikir. Lima menit menunggu, tak ada satupun yang datang. Soleh mulai resah dan gelisah.
Sang kakek berkata “Soleh, ayo qomat, kita mulai saja.”
“Nanti dulu kek, kita tunggu 5 menit lagi, siapa tau ada yang datang.”
Namun, 5 menit berlalu, tak ada lagi yang datang. Soleh bangkit dari duduknya menuju speaker. Bukannya qomat, Soleh malah mengumandangkan azan kembali, namun kali ini berbeda, dia azan dengan versi bahasa Indonesia.
“Allah maha besar, Allah maha besar…
Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allaaaaah….”
Seketika itu juga terdengar suara derap langkah kaki dan suara teriakan dari luar.
“Hei! siapa itu yang azan!?” salah satu warga berteriak.
“Aliran sesat!” warga yang lain menimpali.
“Bakar hidup-hidup!”
“Kami tidak rela islam dinodai!”
Warga merangsek memasuki masjid. Ada yang membawa golok, kayu, bahkan bensin.
Soleh yang sudah menduga hal itu, tetap bersikap tenang, bahkan tersenyum sumringah.
“Ayo bapak-bapak, kita solat berjama’ah, waktu asyar sudah tiba.”
“Soleh! Ngapain kamu? Azan kok di mainin?” Bentak seorang warga.
“kalau bukan elu Soleh, tadinya gua mau bacok tuh orang.” Kata seorang warga yang membawa golok.
“Hehe…. Maaf bapak-bapak, awalnya kan Soleh sudah azan pake bahasa arab, tapi gak ada yang datang ke masjid. Soleh kira warga sini gak ngerti bahasa arab, jadi Soleh azan lagi pake bahasa Indonesia. Alhamdulillah, banyak yang datang. Bapak-bapak ke sini mau sholat berjamaah kan?”
Ditanya seperti itu oleh seorang anak kecil, warga-warga menjadi malu pada diri mereka sendiri. Akhirnya semua warga sholat berjama’ah di masjid pada hari itu.
^_^
***
Pandeglang, 8 Desember 2011

Saturday, 25 January 2014

Pengendalian Diri


Seekor ular masuk ke dalam tempat kerja seorang tukang kayu, setelah ia kian kemari mencari mangsa di sore hari.

Sudah menjadi kebiasaan tukang kayu itu meninggalkan sebagian alat-alat kerjanya di atas sebuah meja. Di antaranya ada sebuah gergaji.

Di tengah-tengah pencariannya ke sana sini, tubuhnya lewat di atas sebuah gergaji. Hal itu membuat kulitnya sedikit terluka. Ular itu jadi kesal. Sebagai bentuk balasan ia dengan segera mematuk gergaji dengan kuat. Dia berusaha menggigitnya. Perbuatan itu justru membuat darah mengalir dari mulutnya.

Ular itu tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Dia berkeyakinan gergaji itu menyerangnya. Dia merasa bahwa dirinya pasti mati. Tapi ia tidak ingin mati begitu saja. Harus ada perlawanan akhir yang mengerahkan seluruh kemampuan. Tidak boleh menyerah begitu saja.

Lalu ia melilit gergaji itu sekuat-kuatnya. Dia berusaha melumat gergaji dengan kekuatan badannya.

Ketika tukang kayu bangun di pagi hari ia melihat gergajinya. Dan di sampingnya ada ular yang sudah mati. Tidak ada penyebabnya selain marah dan emosinya.

Pelajaran:

Kadang-kadang di saat marah, kita berusaha untuk melukai perasaan orang lain. Setelah semua berlalu dan kesempatan telah tiada kita baru tahu bahwa yang kita lukai sebenarnya diri kita sendiri.

Oleh karena itu, kemarahan itu adalah setan yang menguasai akal kita. Dia mengendalikan perasaan kita yang membuat perkataan dan perbuatan kita bagaikan orang tak waras. Hingga kita tidak menyadari apa yang kita ucapkan dan lakukan ketika marah.

Sudah sepantasnya kita ikuti tuntunan Rasulullah di saat marah. Kita ucapkan istighfar, kemudian kita merubah posisi supaya bisa mengendalikan emosi. Kalau perlu pergi berwudhu' mendinginkan anggota tubuh dan perasaan. Kalau belum juga teredam, shalat sunat dua rakaat dan baca al Qur'an serta tadabburi.

Bila cara seperti itu belum juga bisa membendung kemarahan, waspadailah kalau-kalau kita bukan kesetanan lagi. Tapi sudah berubah menjadi setan sebenarnya. Karena setan justru marah bila dibacakan ayat al Qur'an.

Di awal rasa marah itu muncul seseorang harus mengendalikan dirinya. Kalau tidak, ia akan kehilangan kewarasan hingga akhirnya tidak mampu menguasai diri.

Betapa banyak rasa marah sesaat yang mengakibat penyesalan seumur hidup. Bahkan penyesalan sampai ke akhirat.
Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari rasa marah yang mengalahkan kemampuan akal untuk menguasai diri. Lebih penting dari itu, semoga Allah menyelamatkan kita dari segala yang menyebabkan kemarahan.

http://www.pkspiyungan.org/2014/01/mengendalikan-diri.html
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!