Thursday 24 September 2015


Hari ini aku menangis. Ya, menangis. Kenapa menangis? Entahlah, kenapa aku menangis. Yang aku tahu, aku menangis ketika menyanyikan sebuah lagu karya Shoutul Harokah “Indonesia Memanggil.” Begini liriknya:

Singsingkan lengan baju pancangkan asa
Ukirlah hari esok pertiwi jaya
Bergandengan tangan tuk meraih ridho Allah

Buatlah negri ini selalu tersenyum
Bahagia dan Sejahtera dalam cinta-Nya
Tiada lagi resah tiada lagi duka lara

Negeri indah Indonesia
Memanggil namamu
Menyapa nuranimu

Negeri Indah Indonesia
Menanti hadirmu
Rindukan karyamu

Kemerenung sejenak, memikirkan sebab aku menangis. Keresapi dalam – dalam makna lirik lagunya. Akhirnya aku sedikit menemukan jawaban kenapa aku menangis. Aku menangis karena rindu. Ya, aku begitu rindu. Aku begitu merindukan sebuah negeri. Sebuah negeri seperti yang digambarkan dalam lirik lagu tersebut. Sebuah negeri yang selalu tersenyum, sebuah negeri yang bahagia, sebuah negeri yang sejahtera dalam cinta-Nya. Sebuah negeri yang tidak mengenal kata resah dan tidak ada duka lara di dalamnya. Sebuah negeri yang mendapat ridho-Nya.
Ah, negeri itu hanya sebuah mimpi, hanya sebuah fatamorgana. Tak mungkin ada negeri seperti itu.
Hey, kawan.....
Bangunlah..... Sadarlah.....
Negeri yang indah ini memanggil namamu! Negeri yang indah ini menyapa nuranimu!
Bangunlah..... Sadarlah.....
Negeri yang indah ini menanti hadirmu! Negeri yang indah ini merindukan karyamu!

Kau bisa mewujudkan negeri itu dengan tanganmu, kau pasti bisa! Bukankah Tuhan telah berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS 13:11)

Kita harus mengawalinya dengan gagasan. Tanamlah gagasan, petiklah tindakan. Tanamlah tindakan, petiklah kebiasaan. Tanamlah kebiasaan, petiklah watak. Tanamlah watak, petiklah nasib. Dimulai dari gagasan yang diwujudkan dalam tindakan, kemudian tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan berkali-kali akan menjelma menjadi watak, dan watak inilah yang akhirnya mengantarkan kita kepada nasib. Jadi nasib kita, kita sendirilah yang menentukan. Nasib kita ada di tangan kita. Nasib negeri kita ada di tangan kita.
Hay kawan....
Bangunlah..... Sadarlah.....
Berfikirlah, bertindaklah, berkaryalah, dan bermanfaatlah untuk negeri dan umat ini.
Indonesia, memanggilmu!



Bandung, 25 September 2015

Wednesday 16 September 2015

Cerpen ini karya asli Asep Sopyan dengan sedikit perubahan nama dan tempat.

Ada satu kejadian lucu saat kami menghadiri tahlilan di rumah almarhum kawan kami di daerah Serang. Meski kami sudah janjian berangkat bareng habis magrib, ada juga beberapa teman yang ketinggalan.
Salah satunya Kusmana. Dia menyusul dari Pandeglang dengan bekal keterangan seadanya tentang alamat rumah almarhum. Ternyata dia kesasar. Dari jalan raya, dia masuk ke gang berikutnya dari gang yang seharusnya dituju. Kebetulan di salah satu rumah di gang itu juga ada acara tahlilan. Karena tempat duduk sudah penuh, dia duduk di teras depan. Dia tidak melihat satu pun teman-temannya di antara jemaah tahlil. Pikirnya, mungkin kami ada di ruang dalam. Dan karena acara tahlilan sudah memasuki sesi pembacaan Yasin, dia pun ikut membaca Yasin, selanjutnya mengaminkan doa yang dipimpin ustadz.
Setelah doa selesai, saat makanan diedarkan, Kusmana mendengar orang-orang bercakap-cakap tentang almarhum. Tapi nama yang mereka sebut berbeda dengan nama teman kami.
“Memang siapa yang meninggal, Pak?” tanya Kusmana kepada orang di sebelahnya.
“Haji Januri,” jawab orang itu. Melihat Kusmana tampak terkejut, orang itu bertanya, “Adik mau ke tahlilan siapa?”
“Teman saya, namanya Subhan.”
“Oh, mungkin di gang sebelah. Saya dengar di RW sana juga ada yang meninggal tadi siang. Orangnya masih mahasiswa, kan?”
“Betul, Pak. Terima kasih.”
Dengan menahan malu, Kusmana keluar dari forum tahlilan di rumah almarhum Haji Januri. Ketika dia menemukan rumah almarhum Subhan, tahlilan sudah selesai, tapi kebetulan kami masih duduk-duduk mengobrol di ruang depan. Melihat Kusmana datang terlambat karena kesasar, kami semua tertawa terbahak-bahak, lalu meledek dia habis-habisan.
Tapi tak seorang pun yang menyangka bahwa kejadian kecil ini, yang kami anggap lucu saja, di alam baka sana ternyata berakibat serius baik bagi arwah Subhan maupun Haji Januri.
Begini ceritanya.

Ketika seluruh amalan Subhan ditimbang di pengadilan Mahsyar, total amalan baiknya lebih ringan daripada total amalan buruknya dengan selisih yang amat sangat tipis sekali. Tapi di akhirat, amalan sekecil apa pun ada balasannya. Itu artinya, Subhan harus direbus dulu beberapa saat –yang berarti ribuan tahun– di neraka sampai kebaikannya menjadi lebih berat.
Subhan memohon-mohon kepada malaikat juru timbang agar selisih kecil itu diabaikan saja. Tapi malaikat berpegang pada hukum besi pengadilan. Subhan pun menangis. Mulanya tersedu-sedu, lalu berubah menjadi raungan panjang ketika malaikat lain menyeretnya turun dari panggung pengadilan dan melemparnya ke jalur kecil menuju jembatan Siratal Mustaqim.
Subhan bangkit. Satu kekuatan yang tak bisa ia tolak memaksanya melangkahkan kaki ke luar padang. Wajahnya menunduk. Tak dilihatnya miliaran manusia yang berjajar di kiri kanannya sejauh mata memandang, memadati setiap jengkal padang Mahsyar.
Sekeluar dari padang Mahsyar, ternyata masih jauh jalan yang harus ia tempuh untuk sampai di jembatan. Sembari berjalan, Subhan terus memikirkan hasil timbangan amalnya. Selisihnya yang amat tipis membuat hatinya terasa sesak. Berlaksa pengandaian berkelebatan di pikirannya. Kenapa dulu ia tidak menambah satu saja kebaikan, biarpun kecil… Kenapa waktu di dunia ia tidak mengurangi satu saja keburukan… Seandainya ia memberi seratus rupiah saja kepada pengamen jalanan itu… Jika saja ia mau menunggu temannya yang sedang berwudu agar bisa salat berjamaah dan bukannya mendahului salat sendiri… Kalau saja ia tak berbohong kepada ibunya soal uang kuliah… Andaikata ia mengurangi sekali saja aktivitasnya menonton film biru… Sekiranya ia tidak mengirim SMS-SMS iseng ke banyak perempuan sekaligus….
Akh….
Setelah ribuan tahun berjalan, tampaklah patok jembatan Siratal Mustaqim di kejauhan. Jembatan itu terlihat beruap, mengepul-ngepulkan hawa panas, tanda di bawahnya ada kawah api yang menyala-nyala. Ingin Subhan berhenti berjalan, tapi tak bisa.
Saat itulah ada satu suara menegurnya. Malaikat, entah petugas apa.
“Kamu yang bernama Muhammad Subhan bin Marijan?”
Subhan mengangguk lemah. Tak kuasa ia mengeluarkan suara.
“Kamu disuruh kembali ke padang Mahsyar.”
Subhan terkejut.
“Ya. Juru timbang mengatakan kemungkinan ada perubahan dengan hasil timbanganmu.”
Secercah kegembiraan melintas di wajah Subhan. Tapi membayangkan perjalanan balik ribuan tahun ke padang Mahsyar, wajahnya meredup kembali.
“Terserah, apa kamu mau lewat jembatan itu atau putar balik ke padang Mahsyar.”
Subhan menatap kepulan uap di atas jembatan. Tentu mendingan kembali ketimbang meniti jembatan panas itu. Lagi pula siapa tahu di padang Mahsyar ada perbaikan nasib.
“Apa aku harus jalan kaki?” Adanya harapan membuat suara Subhan pulih. “Padang Mahsyar kan jauh sekali.”
Malaikat terkekeh. Dia melempar sebutir kapsul yang tiba-tiba berubah menjadi seekor kuda bersayap.
“Kamu naik kuda ini,” kata malaikat.
“Kenapa tak bilang dari tadi?” kata Subhan kesal.
“Hehehe, kapan lagi bisa mengospek manusia kalau bukan sekarang?”
Kuda bersayap itu merunduk. Subhan naik. Cepat sekali ia melesat. Beberapa kejap saja Subhan telah sampai di padang Mahsyar. Setibanya di panggung pengadilan, Subhan langsung disergap oleh sebuah makian.
“Sialan kau, Subhan! Kau rampas hakku!”
“Haji Januri?”
Haji Januri meninggal pada hari yang sama dengan Subhan, hanya lebih belakangan beberapa menit. Urutan keduanya di pengadilan Mahsyar pun tidak terpaut jauh. Tapi Subhan terheran-heran atas sebab apa tiba-tiba Haji Januri memakinya.
Keheranan Subhan segera terjawab saat juru timbang menerangkan.
“Begini, Muhammad Subhan bin Marijan. Rupanya ada sebuah doa yang sangat ikhlas dari kawanmu yang bernama Kusmana bin Abdullah, cuma doa kawanmu itu kesasar di kotak Ahmad Januri bin Idris. Jadi mohon maaf, kami belum sempat menyertakan doa itu pada timbangan amalmu.”
Subhan melongo.
“Sini, Muhammad Subhan bin Marijan, coba amalanmu kami timbang lagi.”
Ketika doa Kusmana diteteskan ke timbangan, perlahan-lahan terjadi perubahan. Subhan menyaksikan dengan hati deg-degan. Mulanya satu dosa kecil Subhan terhapus, dan ini membuat timbangan jadi seimbang. Lalu disusul dengan bertambahnya satu kebaikan kecil. Tadinya kebaikan kecil itu tertolak karena mengandung unsur riya; berkat doa Kusmana, riyanya hilang sehingga kebaikan kecil itu dinilai sebagai pahala.
Dengan demikian, selanjutnya total amalan baik Subhan menjadi sedikit –sangat sedikit sekali– lebih berat ketimbang total amalan buruknya. Maka bersujudlah Subhan di lantai pengadilan. Air matanya bercucuran, kali ini tanda kebahagiaan.
“Sekarang sudah jelas,” kata malaikat juru timbang. “Ahmad Januri bin Idris dan Muhammad Subhan bin Marijan, silakan menuju jalur jembatan Siratal Mustaqim.”
“Aku tidak terima!” teriak Haji Januri. “Doa itu sudah masuk ke kotakku. Mestinya itu milikku.”
Malaikat lekas menyeretnya ke bawah panggung. Tapi Haji Januri berontak. “Tuhan! Di mana Engkau? Aku mohon keadilan-Mu. Ya Nabi, aku mohon syafaatmu!”
Karena Haji Januri terus berteriak-teriak, para malaikat pun berunding. “Baiklah, Ahmad Januri bin Idris, kami akan minta pertimbangan kepada Tuhan.”
Para malaikat memanggil Tuhan. Dan ketika Tuhan datang, seketika padang Mahsyar diselimuti aura kesejukan, kedamaian, ketundukan.
“Apa yang kalian perselisihkan?” tanya Tuhan.
“Sebuah doa, Yang Mulia,” jawab malaikat juru timbang. “Doa dari seorang bernama Kusmana bin Abdullah.”
“Doa itu dibacakan di tahlilan saya, Tuhan,” sela Haji Januri.
“Tapi itu untuk saya, Tuhan,” Subhan ikut menyela. “Kusmana sahabat saya.”
Malaikat meneruskan, “Meski doa itu dibacakan di tahlilan Ahmad Januri bin Idris, dan tentunya Kusmana bin Abdullah mengaminkan doa yang dialamatkan untuk Ahmad Januri bin Idris, tapi hati Kusmana menujukan doa itu untuk Muhammad Subhan bin Marijan, sahabatnya. Hanya saja doa tersebut masuk ke kotak Ahmad Januri bin Idris sebab dikirim satu paket bersama doa dari peserta tahlilan lainnya.”
“Hmmh, jadi ibaratnya SMS nyasar, gitu ya?”
“Betul, Yang Mulia.”
“Baiklah. Begini kebijakan-Ku. Doa itu merupakan hak Muhammad Subhan bin Marijan. Tapi Ahmad Januri bin Idris pun berhak atas jasa sewa karena kotaknya telah dipakai menyimpan doa orang lain. Lagi pula dia terlanjur gembira dengan adanya doa itu di kotaknya, dan sungguh, berkat rahman rahim-Ku, Aku tidak tega memupus kegembiraannya. Dengan ini Kuputuskan, Ahmad Januri bin Idris tidak perlu menjalani penggodokan di neraka.”
Cerahlah muka Haji Januri. Dan dia bersujud sambil membentur-benturkan jidatnya ke lantai berkali-kali. “Terima kasih, Tuhan…. Terima kasih, Tuhan….”
Demikianlah. Dan untuk kedua kalinya, kembali kami dibuat tertawa oleh –kali ini– cerita Subhan, ketika dia, Kusmana, dan kami semua duduk-duduk sambil minum-minum seraya memeluk bidadari masing-masing di taman surga. Alhamdulillah, tak satu pun di antara kawan kami yang ikut tahlilan waktu itu sempat mampir di neraka. []
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!