Hari
ini aku menangis. Ya, menangis. Kenapa menangis? Entahlah, kenapa aku menangis.
Yang aku tahu, aku menangis ketika menyanyikan sebuah lagu karya Shoutul Harokah “Indonesia Memanggil.”
Begini liriknya:
Singsingkan
lengan baju pancangkan asa
Ukirlah hari esok pertiwi jaya
Bergandengan tangan tuk meraih ridho Allah
Buatlah negri ini selalu tersenyum
Bahagia dan Sejahtera dalam cinta-Nya
Tiada lagi resah tiada lagi duka lara
Negeri indah Indonesia
Memanggil namamu
Menyapa nuranimu
Negeri Indah Indonesia
Menanti hadirmu
Rindukan karyamu
Ukirlah hari esok pertiwi jaya
Bergandengan tangan tuk meraih ridho Allah
Buatlah negri ini selalu tersenyum
Bahagia dan Sejahtera dalam cinta-Nya
Tiada lagi resah tiada lagi duka lara
Negeri indah Indonesia
Memanggil namamu
Menyapa nuranimu
Negeri Indah Indonesia
Menanti hadirmu
Rindukan karyamu
Kemerenung sejenak, memikirkan sebab aku menangis. Keresapi
dalam – dalam makna lirik lagunya. Akhirnya aku sedikit menemukan jawaban
kenapa aku menangis. Aku menangis karena rindu. Ya, aku begitu rindu. Aku begitu
merindukan sebuah negeri. Sebuah negeri seperti yang digambarkan dalam lirik
lagu tersebut. Sebuah negeri yang selalu tersenyum, sebuah negeri yang bahagia,
sebuah negeri yang sejahtera dalam cinta-Nya. Sebuah negeri yang tidak mengenal
kata resah dan tidak ada duka lara di dalamnya. Sebuah negeri yang mendapat ridho-Nya.
Ah, negeri itu hanya sebuah mimpi, hanya sebuah
fatamorgana. Tak mungkin ada negeri seperti itu.
Hey, kawan.....
Bangunlah..... Sadarlah.....
Negeri yang indah ini memanggil namamu! Negeri yang
indah ini menyapa nuranimu!
Bangunlah..... Sadarlah.....
Negeri yang indah ini menanti hadirmu! Negeri yang
indah ini merindukan karyamu!
Kau
bisa mewujudkan negeri itu dengan tanganmu, kau pasti bisa! Bukankah Tuhan
telah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum
itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS 13:11)
Kita harus mengawalinya
dengan gagasan. Tanamlah gagasan, petiklah tindakan. Tanamlah tindakan,
petiklah kebiasaan. Tanamlah kebiasaan, petiklah watak. Tanamlah watak,
petiklah nasib. Dimulai dari gagasan yang diwujudkan dalam tindakan, kemudian
tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan
yang dilakukan berkali-kali akan menjelma menjadi watak, dan watak inilah yang
akhirnya mengantarkan kita kepada nasib. Jadi nasib kita, kita sendirilah yang
menentukan. Nasib kita ada di
tangan kita. Nasib negeri kita ada di tangan kita.
Hay kawan....
Bangunlah..... Sadarlah.....
Berfikirlah, bertindaklah, berkaryalah, dan bermanfaatlah
untuk negeri dan umat ini.
Indonesia, memanggilmu!
Bandung, 25 September 2015
0 comments:
Post a Comment