Menikah, sepertinya indah dan penuh bunga – bunga harapan. Hidup berdua dengan seseorang yang (akan) kita cintai sepenuh hati. Membingkai ibadah dalam sebuah rumah tangga, ah… betapa keindahan yang tidak bisa diungkap dengan kata – kata. Siapapun akan segera membayangkan kebahagiaan begitu berfikir tentang pernikahan dan rumah tangga.
Tetapi menikah juga mengguratkan
sebuah kekhawatiran, mungkinkah ada seseorang yang “tepat” bagi saya. Bukan
hanya tepat dalam pandangan fisik dan duniawi, tapi tepat dalam semangat dan
cita-cita untuk senantiasa produktif berkarya bagi umat. Meski samar dan
tersembunyi, dalam lubuk hati tetaplah ada kegelisahan dan pergolakan.
Jika Anda seorang perempuan, Anda
harus rela membuka ruang intervensi yang mengganggu “kemerdekaan” Anda saat
ini. Tiba-tiba ada seseorang yang mempunyai hak untuk menanyakan ke mana Anda
akan pergi, bukan saja bertanya, tapi juga menyuruh dan melarang. Tiba-tiba
saja ada seseorang yang berhak tahu segala sesuatu tentang diri anda, luar
dalam, hingga ke emosi dan perasaan Anda. Sepertinya agak serem, ya…….?
Pembaca yang terhormat,
pernikahan adalah sebuah fase dalam kehidupan manusia. Pernikahan bukanlah
terminal akhir, bahkan ia menjadi awal bagi sebuah proses perubahan. Artinya, janganlah
Anda berharap akan menemukan seseorang dengan segala sifat kesempurnaan sesuai
identitas yang Anda bangun. Saya ingin menegaskan ini untuk
mengingatkan Anda yang bersikap perfect dan menginginkan kesepurnaan
calon pasangan. Anda jangan hanya ingin “terima jadi” bahwa seorang ikhwan yang
ideal, atau akhwat yang sempurna, datang kepada Anda dan memenuhi segala
kriteria yang anda harapkan. Tetapi Anda harus rela dan berani untuk
bersama-sama membangun pribadi yang diharapkan. menerima tidak hanya
kelebihannya, tapi juga kekurangan yang pasti ada padanya, sebagaimana juga ada
pada Anda. Yang penting Anda mantap bahwa ia yang terpilih adalah seseorang
yang memiliki visi dan misi yang sama. Bahkan jika Anda agak lambat mendapat pencerahan, proses inqilab (perubahan, pembalikan) menuju kebaikan, bisa saja dimulai setelah beberapa waktu pernikahan berjalan. Tak ada kata terlambat. Hanya saja jika salah pilih, proses itu akan berjalan lambat, stagnan, atau bahkan bergeser dari arah kebaikan.
Ummu Salamah adalah contoh
perempuan unggul yang membuka ruang pencerahan bagi calon suaminya. Abu
Thalhah. Dan sejarah mencatat, bahwa Abu Thalhah yang tadinya belum masuk islam
akhirnya menjadi seorang mujahid dakwah.
Modal utama untuk menjadi
dinamisator perubahan pada pasangan adalah keyakinan diri, kesiapan untuk
berubah, karakter yang kuat dan keteladanan. Ditambah dengan keterampilan
mengkomunikasikan ide (yang ini pun bisa saling dilatih kemudian). Apabila ada
kesiapan dalam diri Anda untuk memberi dan menerima, saling berlomba dalam
menunaikan kebajikan, siap berubah menuju tuntutan ideal, maka Anda telah
memiliki semua persyaratan untuk membangun rumah tangga yang harmonis.
To be continued…..
Referensi:
Takariawan, cahyadi. Di Jalan Dakwah Aku Menikah
0 comments:
Post a Comment