Diceritakan bahwa Ridwan dan Ema adalah sepasang suami istri yang berkat
kasih sayang Tuhan dipertemukan kembali di surga. Ketika di dunia, Ridwan dan Ema
terkenal karena kesolehan mereka. Ridwan dan Ema selalu berdoa kepada Tuhan
agar mereka diijinkan terus bersama, baik di dunia maupun di akhirat. Do’a
mereka dikabulkan Tuhan. Di usia tujuh puluhan, Ridwan dan Ema meninggal dalam
keadaan sholat berjama’ah, dengan senyum damai menghiasi bibir mereka. Tidak hanya itu, setelah
melewati pengadilan Mahsyar pun, mereka berjalan bersama meniti jembatan
Siratal Mustaqim.
Sesampainya di surga, Ridwan dan Ema tinggal di sebuah
rumah yang dalam segala hal: kebesaran, keindahan, kemewahan, kenyamanan,
keamanan, tak akan pernah terbayangkan di dunia. (Jadi lebih baik tidak digambarkan
di sini). Sebagai laki-laki, Ridwan mendapat
jatah khusus berupa 40 bidadari dengan kecantikan tak terperi. Keempat puluh bidadari itu
menghuni paviliun-paviliun di belakang rumah Ridwan dan Ema, dan kapan saja
siap dikunjungi. Tapi
Ridwan tak pernah sekali pun menengok mereka. Setiap saat ia berduaan saja
dengan Ema. Hanya Ema seorang yang ia rayu dan cumbu. Tentu saja Ema senang
sekali.
Suatu kali Ema berkata, “Suamiku, di
sini banyak bidadari bermata jeli dan berbodi seksi. Aku tak keberatan jika
kamu mencobai salah satu dari mereka atau bahkan semuanya.”
“Ah, Istriku, apalah artinya mereka dibanding
dirimu? Hakikatnya bidadari-bidadari itu tak lebih dari pelacur….”
Ema lekas melintangkan jarinya di mulut
Ridwan. “Ssstt, hati-hati bicaramu, Sayang. Nanti Tuhan tersinggung.”
“Hehehe, jangan kuatir. Di surga tidak
ada yang mencatat amal-amal kita dan tidak akan ada lagi pengadilan.”
“Tapi mereka istri-istrimu, hadiah Tuhan
untukmu sebagai penghuni surga.”
“Lebih tepatnya: istri simpanan, atau
gundik, atau selir, atau harem. Kamu tahu, istriku, di dunia dulu, harem-harem
itu sering menjadi barang hadiah di antara para raja dan bangsawan. Mengapa?
Karena mereka hakikatnya tak lebih dari budak. Bedanya mereka cantik. Dan
khusus bidadari, tinggalnya di surga. Tapi itu tak mengubah fakta bahwa mereka
diciptakan hanya dengan satu tujuan: untuk menjadi pemuas nafsu seks laki-laki.
Andaikata mereka kusuruh mencuci kakimu saja, itu sudah merupakan satu
kehormatan besar bagi mereka.”
Ema terkikik. “Sayangnya di surga sini
kakiku tak pernah kotor.”
***
Mulanya tiap-tiap bidadari itu menduga,
mungkin Ridwan masih keasyikan dengan salah satu bidadari hingga lupa bahwa
masih banyak bidadari yang lain. Namun setelah bertahun-tahun tak pernah
dikunjungi, mereka pun mulai berkomunikasi dengan sesamanya, dan tahulah mereka
bahwa nasib mereka semua serupa.
Mereka jadi bertanya-tanya dalam hati
mengapa bisa begitu. Untuk mencari tahu sekaligus menepis kebosanan, sesekali
satu atau dua dari mereka keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan di taman.
Terkadang mereka lihat Ridwan dan Ema tengah bercumbu di beranda rumah atau di
salah satu sudut taman, namun mereka tak berani mendekat sebab tak
diperbolehkan bagi mereka untuk mengganggu saat tuan dan nyonya besar sedang berduaan.
Mereka jadi bingung. Ingin mereka
mendekati Ridwan, yang adalah suami mereka juga, tapi setiap saat setiap detik Ridwan
selalu bersama Ema.
Mereka pun nyaris tak percaya, bagaimana
mungkin seorang lelaki penghuni surga tidak tergiur dengan bidadari, yang
penggambarannya dalam kitab suci, ketika di dunia, sanggup membuat orang rela
meledakkan bom bunuh diri?
Berabad-abad kemudian, keadaan masih
tetap seperti itu. Para bidadari semakin gelisah. Mereka hanya bisa saling
mengunjungi satu sama lain dan berkeluh kesah tentang keadaan masing-masing.
Setelah ribuan tahun tak ada perubahan,
akhirnya mereka sepakat untuk mengadu kepada malaikat penjaga surga.
“Wahai malaikat penjaga surga, tolong
sampaikan kepada Tuhan, bagaimana nasib kami ini, tak pernah dikunjungi satu
kali pun oleh suami yang Dia anugerahkan kepada kami. Bukankah Tuhan
menciptakan kami, para bidadari ini, dengan tujuan untuk menjadi pasangan bagi
penghuni surga berjenis laki-laki? Kalau seperti ini terus, lebih baik kami
dikembalikan saja kepada keadaan sebelumnya.”
Malaikat penjaga surga menjawab, “Kalian
makhluk abadi. Sekali dicipta tak akan musnah selamanya.”
“Tolonglah, palingkan hatinya sedikit
saja kepada kami.”
“Kalian sudah dibekali kecantikan tak
bertara. Manfaatkan itu untuk menarik perhatiannya.”
“Kami sudah berusaha. Sering kami keluar
dari kamar dan berjalan-jalan di taman, memperlihatkan diri kepadanya, dengan
pakaian seksi menerawang, dengan langkah megal-megol, berharap dia tertarik
melihat kami. Tapi dia selalu saja berduaan dengan istrinya yang bawaan dari
dunia itu, sedikit pun kami tak diliriknya.”
“Bersabarlah.”
“Sudah ribuan tahun, Kami jadi merasa
tak berguna sama sekali. Kalau memang keberadaan kami tak dibutuhkan, ambil
saja kami kembali ke sisi-Nya.”
“Hmmh, Tuhan tidak mungkin mengambil
kembali apa yang sudah Dia berikan kepada hamba-Nya.”
“Lalu
bagaimana dong? Apa yang harus kami lakukan?”
“O ya, ada satu cara. Kalian akan
terlepas dari keadaan sekarang kalau Ridwan sendiri yang membebaskan kalian.”
“Tapi bagaimana caranya supaya dia
membebaskan kami?”
“Sekarang pulanglah. Akan kusampaikan
masalah kalian kepada Tuhan. Pasti akan ada solusinya.”
***
Satu tahun kemudian. Pada suatu hari, saat Ridwan
dan Ema tengah bercengkrama di taman, beberapa sosok bidadari melintas
di kejauhan, menghilang sejenak, lalu muncul lagi. Sebenarnya itu hal biasa,
dan Ridwan menganggapnya hiasan taman belaka. Tapi kali itu Ema berkata,
“Suamiku, lihat bidadari itu, kelihatannya dia sedang mencoba menarik
perhatianmu.”
“Biarkan saja.”
“Kenapa sih kamu tak pernah acuhkan
mereka? Mereka diciptakan Tuhan untukmu dan aku ikhlas.”
“Kenapa aku harus pedulikan
burung-burung pipit padahal di depanku ada burung merak?”
“Setidaknya tengoklah mereka sesekali.”
“Kamu kenapa, Istriku? Apa kamu tak suka
terus-menerus kutemani?”
“Bukan itu. Tentu aku bahagia sekali
dapat selalu bersamamu. Tapi sebagai perempuan, aku dapat meraba-raba apa yang
dirasakan para bidadari itu.”
“Baiklah. Daripada mengganggu, mungkin
sebaiknya bidadari-bidadari itu kuberikan saja kepada temanku.”
“Siapa?”
“Afwan. Dia mati waktu masih bujangan.”
***
Afwan tengah bermain
catur dikeroyok para bidadarinya ketika Ridwan dan Ema datang. Ia terkejut dan
gembira melihat kedatangan kawan akrabnya sewaktu di dunia.
“Wan! Sohibku Apa kabar,? Ayo main
catur denganku.”
“Alhamdulillah, baik sekali, Sobatku Afwan! Bagaimana
kabarmu?”
“Alhamdulillah, mahabaik, Sohib. Lihat, sekarang
istriku banyak sekali padahal waktu di dunia satu pun tak punya.”
“Selamat, selamat. Kalau nambah lagi mau
tidak?”
“Nambah lagi? Boleh banget.”
“Kalau begitu, aku akan memberikan
seluruh bidadariku padamu. Sepulang dari sini, segera kukirim mereka ke
tempatmu.”
“Lho, kenapa? Bosan?”
“Tidak. Cuma tidak selera.”
“Aneh. Bukannya mereka bohai-bohai dan
bahenol? Perawan terus lagi, hehehe….”
“Hahaha…, buat apa? Istriku 40 kali
lebih bohai dan lebih bahenol ketimbang bidadari mana pun.”
Untuk beberapa jenak Afwan memperhatikan Ema.
Keningnya mengernyit. Tampaknya ia tak sepaham dengan ucapan sahabatnya.
Ridwan tertawa. “Ada baiknya kamu tak
sependapat denganku. Berarti istriku aman dari gangguanmu, hehehe….”
“Enak saja! Ya sudah, tawaranmu
kuterima. Sekarang ayo kita catur. Para bidadari itu payah semua. Sudah main
keroyok pun tetap saja kalah.”
“Hehehe, otak mereka memang bukan di
kepala….”
***
Begitulah. Para bidadari milik Ridwan
terheran-heran ketika sore
harinya mereka dijemput dengan kereta kencana lalu dibawa ke rumah Afwan.
“Mulai sekarang kalian menjadi milik
sahabatku ini,” kata Ridwan. “Bergembiralah, sebab dia tak akan menyia-nyiakan
kalian.” []
0 comments:
Post a Comment