Syarat Kemenangan Dakwah
Ikhwatifillah
yang dirahmati Allah Swt, tentu kita semua mendambakan islam kembali berjaya di
atas muka bumi ini seperti yang telah dijanjikan oleh Allah. Sekarang ini, Islam
tengah mengalami fase kritisnya. Namun, seperti gejala penyakit demam berdarah,
setelah masa kritis itulah, kesembuhan akan diperoleh. Di balik semua kemunduran
yang Islam tengah alami saat ini, sudah muncul sedikit demi sedikit tanda-tanda
kebangkitan Islam, di seluruh penjuru dunia, termasuk di Negara kita Indonesia.
Dalam
masa ini pula, di Indonesia akan mengalami transisi kepemimpinan, dimana di
tahun 2014 mendatang, akan mengadakan suatu perhelatan besar yaitu PEMILU
(Pemilihan Umum) yang akan memilih pemimpin-pemimpin Indonesia selanjutnya.
Maka
dari itu, sebagai orang-orang yang tergabung dalam lingkaran dakwah, kita jangan
sampai kehilangan peran dalam kepemimpinan. Inilah masanya dakwah
melakukan ekspansi ke ranah yang lebih luas. Namun, ada beberapa hal yang harus
dan wajib diperhatikan oleh para aktivis untuk kemenangan dakwah.
Untuk
dapat mencapai kemenangan, kita dapat mengambil pelajaran dari 3 perang
besar yang dilakukan oleh kaum muslimin pada zaman Rasulullah SAW.
Yang
pertama adalah perang Badar, perang
pertama yang dialami oleh kaum muslimin. Pada waktu itu, jumlah kaum
muslimin hanya berjumlah sekitar 300 orang, sangat jauh berbeda dengan jumlah
kaum kafir yaitu berjumlah sekitar 1000 orang. Namun hasilnya sungguh sangat
tak terduga, jumlah yang sedikit bisa mengalahkan jumlah yang banyak. Lalu, apa
yang menyebabkan kemenangan tersebut? Yaitu kualitas keimanan kaum muslimin
pada waktu itu yang sedang dalam puncak tertinggi. Iman yang menghujam di dalam
dada kaum muslimin itulah yang menjadi sebab turunnya pertolongan Allah Swt.
Kemudian,
apa yang menyebabkan keimanan kaum muslimin pada waktu itu sangat kuat? Ternyata,
rahasianya adalah Qiyamul lail. Rasulullah mendidik para tentaranya untuk tidak
pernah meninggalkan solat tahajud. Karena pada waktu seperdua malam itulah
kedekatan dengan Allah sangat mudah dijalin. Sebagaimana yang dilakukan oleh
Muhammad Al-Fatih ketika hendak menaklukan benteng konstantinopel. Beliau tidak
pernah tertinggal solat tahajudnya dari semenjak akil balig, walau hanya sekali.
Atau seperti yang dilakukan oleh Panglima perang Sholahudin Al-Ayyubi yang
selalu memeriksa tenda para tentaranya pada malam hari dan membangunkan mereka
untuk solat tahajud. Jadi, syarat yang
pertama adalah keimanan yang kokoh kepada Allah SWT. Keimanan yang kokoh
itu dapat dibangun dengan solat tahajud dan tilawah Alquran. Jangan terlalu
mimpi untuk dapat memenangkan dakwah, jika para aktivisnya jarang bahkan tidak
pernah melakukan solat tahajud.
Bukankah Allah telah berfirman dalam Al-Quran, yang
artinya,
“Hai orang yang berselimut, bangunlah (untuk
shalat) di malam hari kecuali sedikit (darinya). (Yaitu) seperduanya atau
kurangi dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua. Dan bacalah
Al-Quran dengan perlahan-lahan. “(Al-Muzzammil: 1-4)
Perang yang kedua adalah perang Khandak atau perang parit. Kaum muslimin baru mengetahui akan adanya perang tersebut, 20 hari sebelum penyerangan terjadi. Kemudian diadakanlah konsolidasi darurat yang menghasilkan satu strategi perang yang sangat jitu yaitu dengan membuat parit. Strategi yang tepat hanya dapat dihasilkan dengan pemikiran yang cerdas. Pemikiran yang cerdas terlahir dari intensitas dia belajar dan membaca. Sebagaimana dalam firman Allah Swt:
“Bacalah!
Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” (Al-Alaq:1)
Membaca
dalam ayat di atas, tidak terbatas hanya pada perintah untuk membaca teks-teks
yang tampak, melainkan juga membaca diri dengan potensi-potensinya, membaca
situasi dan keadaan dalam lingkungan dakwah, dsb. Oleh karena itu seorang aktivis
dakwah harus banyak membaca buku-buku yang bermanfaat, dan pandai membaca
situasi dan keadaan dalam lingkungan dakwah dimana dia berada, sehingga bisa
menghasilkan strategi yang tepat. Itulah
syarat yang kedua.
Masih
dalam perang yang sama, ketika
membuat parit tersebut, sahabat mengalami sebuah hambatan, yaitu batu yang
besar yang tidak bisa dihancurkan oleh mereka. Akhirnya mereka mengadu kepada
Rasulullah Saw., kemudian Rasulullah sendirilah yang menghancurkan batu besar
tersebut. Dihantaman pertama, kedua dan ketiga Rasulullah mengobarkan semangat
para sahabat karena mendapat bayangan dari Allah akan kemenangan-kemenangan
yang akan diperoleh kaum muslimin di masa depan. Yaitu kemenangan atas Persia
dan Romawi. Itulah syarat yang ketiga,
yaitu seorang Qiyadah atau pemimpin yang
visioner dan mampu melejitkan semangat para kader atau para jundi-jundinya dalam menjalankan
dakwah ini meskipun banyak hambatan.
Namun,
mari kita flashback kepada perang Uhud. Kaum
muslimin mendapat pelajaran yang sangat berharga dalam perang ini. Ketidak
ta’atan pasukan pemanah kepada perintah Rasulullah Saw., karena tergiur oleh
harta rampasan perang (ganimah) harus dibayar mahal dengan syahidnya 70 sahabat terbaik Rasulullah. Bahkan Rasulullah sendiri pun mengalami luka yang sangat
parah sehingga gigi-gigi Rasulullah rontok. Rasulullah SAW, pernah bersabda,
“Barang siapa yang
melepaskan tangannya dari ketaatan kepada pemimpinnya maka ia pada hari kiamat
tidak memiliki hujjah”.
Tentunya sebagai seorang jundi haruslah
mentaati perintah dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh sang Qiyadah.
Dalam mentaati perintah diperlukan sikap dan kadar ketsiqohan yang tinggi yang
harus dimiliki seorang Jundi terhadap Qiyadahnya. Sikap tsiqoh ini tak lain
adalah bentuk ketaatan dan kesetiaan terhadap apa yang menjadi ketentuan yang
diberikan oleh Qiyadah kepada para Jundinya.
Ada keteladanan dan suatu kebesaran hati
seorang Umar Bin Khattab r.a yang berbeda pendapat dengan Khalifah Abu Bakar
Ash Shidq terkait tentang sikap terhadap orang yang tidak mau mengeluarkan
zakat. Umar bin Khattab berpendapat bahwa mereka yang tidak mau mengeluarkan
zakat tidaklah harus diperangi, dan pendapat Umar ini banyak didukung oleh para
sahabat lainnya. Namun, khalifah Abu Bakar Ash-Shidq beranggapan bahwa mereka
yang tidak mau mengeluarkan zakat haruslah diperangi. Mengetahui keputusan Abu
Bakar Ash-Shidq untuk memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat maka
Umar Bin Khattab berkata: “Demi Allah, tiada lain yang aku pahami kecuali bahwa
Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, maka aku tahu
bahwa dialah yang benar”.
Perkataan dari Umar Bin Khattab menunjukkan
sikap ketsiqohan yang luar biasa yang ditunjukkan kepada keputusan Abu Bakar
Ash-Shidq sebagai khalifahnya. Walaupun bisa saja Umar menentang kebijakan sang
Qiyadah karena didukung oleh sahabat-sahabat lainnya dan ditambah dengan
Rasulullah SAW pun pernah bersabda bahwa: “Allah swt telah menjadikan al haq
(kebenaran) pada lisan dan hati Umar”. Disaat Umar Bin Khattab memiliki
kesempatan dan dalil kuat untuk tidak mengikuti dan menentang keputusan Abu
Bakar Ash Shidq. Umar lebih memilih untuk tetap mentaati keputusan Abu Bakar
Ash-Shidq selaku khalifah pada saat itu. Dan itulah yang menjadi syarat yang keempat, keta’atan kepada pemimpin. Sami'na wa atho'na.
Jika keempat syarat tersebut kita ejawantahkan dalam menjalankan roda dakwah, maka kemenangan akan segera kita raih dengan izin Allah Swt..
Wallahu'alamu bishowab..
0 comments:
Post a Comment