Tuesday 5 March 2013



Syarat Kemenangan Dakwah



Ikhwatifillah yang dirahmati Allah Swt, tentu kita semua mendambakan islam kembali berjaya di atas muka bumi ini seperti yang telah dijanjikan oleh Allah. Sekarang ini, Islam tengah mengalami fase kritisnya. Namun, seperti gejala penyakit demam berdarah, setelah masa kritis itulah, kesembuhan akan diperoleh. Di balik semua kemunduran yang Islam tengah alami saat ini, sudah muncul sedikit demi sedikit tanda-tanda kebangkitan Islam, di seluruh penjuru dunia, termasuk di Negara kita Indonesia.
Dalam masa ini pula, di Indonesia akan mengalami transisi kepemimpinan, dimana di tahun 2014 mendatang, akan mengadakan suatu perhelatan besar yaitu PEMILU (Pemilihan Umum) yang akan memilih pemimpin-pemimpin Indonesia selanjutnya.
Maka dari itu, sebagai orang-orang yang tergabung dalam lingkaran dakwah, kita jangan sampai kehilangan peran dalam kepemimpinan. Inilah masanya dakwah melakukan ekspansi ke ranah yang lebih luas. Namun, ada beberapa hal yang harus dan wajib diperhatikan oleh para aktivis untuk kemenangan dakwah.
Untuk dapat mencapai kemenangan, kita dapat mengambil pelajaran dari 3 perang besar yang dilakukan oleh kaum muslimin pada zaman Rasulullah SAW.
Yang pertama adalah perang Badar, perang pertama yang dialami oleh kaum muslimin. Pada waktu itu, jumlah kaum muslimin hanya berjumlah sekitar 300 orang, sangat jauh berbeda dengan jumlah kaum kafir yaitu berjumlah sekitar 1000 orang. Namun hasilnya sungguh sangat tak terduga, jumlah yang sedikit bisa mengalahkan jumlah yang banyak. Lalu, apa yang menyebabkan kemenangan tersebut? Yaitu kualitas keimanan kaum muslimin pada waktu itu yang sedang dalam puncak tertinggi. Iman yang menghujam di dalam dada kaum muslimin itulah yang menjadi sebab turunnya pertolongan Allah Swt.
Kemudian, apa yang menyebabkan keimanan kaum muslimin pada waktu itu sangat kuat? Ternyata, rahasianya adalah Qiyamul lail. Rasulullah mendidik para tentaranya untuk tidak pernah meninggalkan solat tahajud. Karena pada waktu seperdua malam itulah kedekatan dengan Allah sangat mudah dijalin. Sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Al-Fatih ketika hendak menaklukan benteng konstantinopel. Beliau tidak pernah tertinggal solat tahajudnya dari semenjak akil balig, walau hanya sekali. Atau seperti yang dilakukan oleh Panglima perang Sholahudin Al-Ayyubi yang selalu memeriksa tenda para tentaranya pada malam hari dan membangunkan mereka untuk solat tahajud. Jadi, syarat yang pertama adalah keimanan yang kokoh kepada Allah SWT. Keimanan yang kokoh itu dapat dibangun dengan solat tahajud dan tilawah Alquran. Jangan terlalu mimpi untuk dapat memenangkan dakwah, jika para aktivisnya jarang bahkan tidak pernah melakukan solat tahajud.
Bukankah Allah telah berfirman dalam Al-Quran, yang artinya,
“Hai orang yang berselimut, bangunlah (untuk shalat) di malam hari kecuali sedikit (darinya). (Yaitu) seperduanya atau kurangi dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua. Dan bacalah Al-Quran dengan perlahan-lahan. “(Al-Muzzammil: 1-4)

Perang yang kedua adalah perang Khandak atau perang parit. Kaum muslimin baru mengetahui akan adanya perang tersebut, 20 hari sebelum penyerangan terjadi. Kemudian diadakanlah konsolidasi darurat yang menghasilkan satu strategi perang yang sangat jitu yaitu dengan membuat parit. Strategi yang tepat hanya dapat dihasilkan dengan pemikiran yang cerdas. Pemikiran yang cerdas terlahir dari intensitas dia belajar dan membaca. Sebagaimana dalam firman Allah Swt:
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” (Al-Alaq:1)
Membaca dalam ayat di atas, tidak terbatas hanya pada perintah untuk membaca teks-teks yang tampak, melainkan juga membaca diri dengan potensi-potensinya, membaca situasi dan keadaan dalam lingkungan dakwah, dsb. Oleh karena itu seorang aktivis dakwah harus banyak membaca buku-buku yang bermanfaat, dan pandai membaca situasi dan keadaan dalam lingkungan dakwah dimana dia berada, sehingga bisa menghasilkan strategi yang tepat. Itulah syarat yang kedua.
Masih dalam perang yang sama, ketika membuat parit tersebut, sahabat mengalami sebuah hambatan, yaitu batu yang besar yang tidak bisa dihancurkan oleh mereka. Akhirnya mereka mengadu kepada Rasulullah Saw., kemudian Rasulullah sendirilah yang menghancurkan batu besar tersebut. Dihantaman pertama, kedua dan ketiga Rasulullah mengobarkan semangat para sahabat karena mendapat bayangan dari Allah akan kemenangan-kemenangan yang akan diperoleh kaum muslimin di masa depan. Yaitu kemenangan atas Persia dan Romawi. Itulah syarat yang ketiga, yaitu seorang Qiyadah atau pemimpin yang visioner dan mampu melejitkan semangat para kader atau para jundi-jundinya dalam menjalankan dakwah ini meskipun banyak hambatan.
Namun, mari kita flashback kepada perang Uhud. Kaum muslimin mendapat pelajaran yang sangat berharga dalam perang ini. Ketidak ta’atan pasukan pemanah kepada perintah Rasulullah Saw., karena tergiur oleh harta rampasan perang (ganimah) harus dibayar mahal dengan syahidnya 70 sahabat terbaik Rasulullah. Bahkan Rasulullah sendiri pun mengalami luka yang sangat parah sehingga gigi-gigi Rasulullah rontok. Rasulullah SAW, pernah bersabda,
“Barang siapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada pemimpinnya maka ia pada hari kiamat tidak memiliki hujjah”.
Tentunya sebagai seorang jundi haruslah mentaati perintah dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh sang Qiyadah. Dalam mentaati perintah diperlukan sikap dan kadar ketsiqohan yang tinggi yang harus dimiliki seorang Jundi terhadap Qiyadahnya. Sikap tsiqoh ini tak lain adalah bentuk ketaatan dan kesetiaan terhadap apa yang menjadi ketentuan yang diberikan oleh Qiyadah kepada para Jundinya.
Ada keteladanan dan suatu kebesaran hati seorang Umar Bin Khattab r.a yang berbeda pendapat dengan Khalifah Abu Bakar Ash Shidq terkait tentang sikap terhadap orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Umar bin Khattab berpendapat bahwa mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat tidaklah harus diperangi, dan pendapat Umar ini banyak didukung oleh para sahabat lainnya. Namun, khalifah Abu Bakar Ash-Shidq beranggapan bahwa mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat haruslah diperangi. Mengetahui keputusan Abu Bakar Ash-Shidq untuk memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat maka Umar Bin Khattab berkata: “Demi Allah, tiada lain yang aku pahami kecuali bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, maka aku tahu bahwa dialah yang benar”.
Perkataan dari Umar Bin Khattab menunjukkan sikap ketsiqohan yang luar biasa yang ditunjukkan kepada keputusan Abu Bakar Ash-Shidq sebagai khalifahnya. Walaupun bisa saja Umar menentang kebijakan sang Qiyadah karena didukung oleh sahabat-sahabat lainnya dan ditambah dengan Rasulullah SAW pun pernah bersabda bahwa: “Allah swt telah menjadikan al haq (kebenaran) pada lisan dan hati Umar”. Disaat Umar Bin Khattab memiliki kesempatan dan dalil kuat untuk tidak mengikuti dan menentang keputusan Abu Bakar Ash Shidq. Umar lebih memilih untuk tetap mentaati keputusan Abu Bakar Ash-Shidq selaku khalifah pada saat itu. Dan itulah yang menjadi syarat yang keempat, keta’atan kepada pemimpin. Sami'na wa atho'na.
Jika keempat syarat tersebut kita ejawantahkan dalam menjalankan roda dakwah, maka kemenangan akan segera kita raih dengan izin Allah Swt..
Wallahu'alamu bishowab..

0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!