Cerpen ini karya asli Asep Sopyan dengan sedikit perubahan nama dan tempat.
Ada satu kejadian lucu saat kami menghadiri tahlilan di rumah
almarhum kawan kami di daerah Serang. Meski kami sudah janjian berangkat bareng
habis magrib, ada juga beberapa teman yang ketinggalan.
Salah satunya Kusmana. Dia menyusul dari Pandeglang dengan
bekal keterangan seadanya tentang alamat rumah almarhum. Ternyata dia kesasar. Dari
jalan raya, dia masuk ke gang berikutnya dari gang yang seharusnya dituju. Kebetulan
di salah satu rumah di gang itu juga ada acara tahlilan. Karena tempat duduk
sudah penuh, dia duduk di teras depan. Dia tidak melihat satu pun
teman-temannya di antara jemaah tahlil. Pikirnya, mungkin kami ada di ruang
dalam. Dan karena acara tahlilan sudah memasuki sesi pembacaan Yasin, dia pun ikut
membaca Yasin, selanjutnya mengaminkan doa yang dipimpin ustadz.
Setelah doa selesai, saat makanan diedarkan, Kusmana mendengar
orang-orang bercakap-cakap tentang almarhum. Tapi nama yang mereka sebut
berbeda dengan nama teman kami.
“Memang siapa yang meninggal, Pak?” tanya Kusmana kepada
orang di sebelahnya.
“Haji Januri,” jawab orang itu. Melihat Kusmana tampak
terkejut, orang itu bertanya, “Adik mau ke tahlilan siapa?”
“Teman saya, namanya Subhan.”
“Oh, mungkin di gang sebelah. Saya dengar di RW sana juga
ada yang meninggal tadi siang. Orangnya masih mahasiswa, kan?”
“Betul, Pak. Terima kasih.”
Dengan menahan malu, Kusmana keluar dari forum tahlilan di
rumah almarhum Haji Januri. Ketika dia menemukan rumah almarhum Subhan,
tahlilan sudah selesai, tapi kebetulan kami masih duduk-duduk mengobrol di ruang
depan. Melihat Kusmana datang terlambat karena kesasar, kami semua tertawa
terbahak-bahak, lalu meledek dia habis-habisan.
Tapi tak seorang pun yang menyangka bahwa kejadian kecil
ini, yang kami anggap lucu saja, di alam baka sana ternyata berakibat serius baik
bagi arwah Subhan maupun Haji Januri.
Begini ceritanya.
Ketika seluruh amalan Subhan ditimbang di pengadilan
Mahsyar, total amalan baiknya lebih ringan daripada total amalan buruknya
dengan selisih yang amat sangat tipis sekali. Tapi di akhirat, amalan sekecil apa
pun ada balasannya. Itu artinya, Subhan harus direbus dulu beberapa saat –yang berarti
ribuan tahun– di neraka sampai kebaikannya menjadi lebih berat.
Subhan memohon-mohon kepada malaikat juru timbang agar
selisih kecil itu diabaikan saja. Tapi malaikat berpegang pada hukum besi
pengadilan. Subhan pun menangis. Mulanya tersedu-sedu, lalu berubah menjadi
raungan panjang ketika malaikat lain menyeretnya turun dari panggung pengadilan
dan melemparnya ke jalur kecil menuju jembatan Siratal Mustaqim.
Subhan bangkit. Satu kekuatan yang tak bisa ia tolak
memaksanya melangkahkan kaki ke luar padang. Wajahnya menunduk. Tak dilihatnya
miliaran manusia yang berjajar di kiri kanannya sejauh mata memandang, memadati
setiap jengkal padang Mahsyar.
Sekeluar dari padang Mahsyar, ternyata masih jauh jalan yang
harus ia tempuh untuk sampai di jembatan. Sembari berjalan, Subhan terus
memikirkan hasil timbangan amalnya. Selisihnya yang amat tipis membuat hatinya
terasa sesak. Berlaksa pengandaian berkelebatan di pikirannya. Kenapa dulu ia
tidak menambah satu saja kebaikan, biarpun kecil… Kenapa waktu di dunia ia
tidak mengurangi satu saja keburukan… Seandainya ia memberi seratus rupiah saja
kepada pengamen jalanan itu… Jika saja ia mau menunggu temannya yang sedang
berwudu agar bisa salat berjamaah dan bukannya mendahului salat sendiri… Kalau
saja ia tak berbohong kepada ibunya soal uang kuliah… Andaikata ia mengurangi
sekali saja aktivitasnya menonton film biru… Sekiranya ia tidak mengirim SMS-SMS
iseng ke banyak perempuan sekaligus….
Akh….
Setelah ribuan tahun berjalan, tampaklah patok jembatan Siratal
Mustaqim di kejauhan. Jembatan itu terlihat beruap, mengepul-ngepulkan hawa
panas, tanda di bawahnya ada kawah api yang menyala-nyala. Ingin Subhan
berhenti berjalan, tapi tak bisa.
Saat itulah ada satu suara menegurnya. Malaikat, entah petugas
apa.
“Kamu yang bernama Muhammad Subhan bin Marijan?”
Subhan mengangguk lemah. Tak kuasa ia mengeluarkan suara.
“Kamu disuruh kembali ke padang Mahsyar.”
Subhan terkejut.
“Ya. Juru timbang mengatakan kemungkinan ada perubahan
dengan hasil timbanganmu.”
Secercah kegembiraan melintas di wajah Subhan. Tapi membayangkan
perjalanan balik ribuan tahun ke padang Mahsyar, wajahnya meredup kembali.
“Terserah, apa kamu mau lewat jembatan itu atau putar balik
ke padang Mahsyar.”
Subhan menatap kepulan uap di atas jembatan. Tentu mendingan
kembali ketimbang meniti jembatan panas itu. Lagi pula siapa tahu di padang
Mahsyar ada perbaikan nasib.
“Apa aku harus jalan kaki?” Adanya harapan membuat suara Subhan
pulih. “Padang Mahsyar kan jauh sekali.”
Malaikat terkekeh. Dia melempar sebutir kapsul yang tiba-tiba
berubah menjadi seekor kuda bersayap.
“Kamu naik kuda ini,” kata malaikat.
“Kenapa tak bilang dari tadi?” kata Subhan kesal.
“Hehehe, kapan lagi bisa mengospek manusia kalau bukan
sekarang?”
Kuda bersayap itu merunduk. Subhan naik. Cepat sekali ia
melesat. Beberapa kejap saja Subhan telah sampai di padang Mahsyar. Setibanya
di panggung pengadilan, Subhan langsung disergap oleh sebuah makian.
“Sialan kau, Subhan! Kau rampas hakku!”
“Haji Januri?”
Haji Januri meninggal pada hari yang sama dengan Subhan,
hanya lebih belakangan beberapa menit. Urutan keduanya di pengadilan Mahsyar
pun tidak terpaut jauh. Tapi Subhan terheran-heran atas sebab apa tiba-tiba
Haji Januri memakinya.
Keheranan Subhan segera terjawab saat juru timbang
menerangkan.
“Begini, Muhammad Subhan bin Marijan. Rupanya ada sebuah doa
yang sangat ikhlas dari kawanmu yang bernama Kusmana bin Abdullah, cuma doa
kawanmu itu kesasar di kotak Ahmad Januri bin Idris. Jadi mohon maaf, kami
belum sempat menyertakan doa itu pada timbangan amalmu.”
Subhan melongo.
“Sini, Muhammad Subhan bin Marijan, coba amalanmu kami
timbang lagi.”
Ketika doa Kusmana diteteskan ke timbangan, perlahan-lahan
terjadi perubahan. Subhan menyaksikan dengan hati deg-degan. Mulanya satu dosa
kecil Subhan terhapus, dan ini membuat timbangan jadi seimbang. Lalu disusul
dengan bertambahnya satu kebaikan kecil. Tadinya kebaikan kecil itu tertolak
karena mengandung unsur riya; berkat doa Kusmana, riyanya hilang sehingga
kebaikan kecil itu dinilai sebagai pahala.
Dengan demikian, selanjutnya total amalan baik Subhan
menjadi sedikit –sangat sedikit sekali– lebih berat ketimbang total amalan buruknya. Maka
bersujudlah Subhan di lantai pengadilan. Air matanya bercucuran, kali ini tanda
kebahagiaan.
“Sekarang sudah jelas,” kata malaikat juru timbang. “Ahmad Januri
bin Idris dan Muhammad Subhan bin Marijan, silakan menuju jalur jembatan
Siratal Mustaqim.”
“Aku tidak terima!” teriak Haji Januri. “Doa itu sudah masuk
ke kotakku. Mestinya itu milikku.”
Malaikat lekas menyeretnya ke bawah panggung. Tapi Haji Januri
berontak. “Tuhan! Di mana Engkau? Aku mohon keadilan-Mu. Ya Nabi, aku mohon
syafaatmu!”
Karena Haji Januri terus berteriak-teriak, para malaikat pun
berunding. “Baiklah, Ahmad Januri bin Idris, kami akan minta pertimbangan
kepada Tuhan.”
Para malaikat memanggil Tuhan. Dan ketika Tuhan datang,
seketika padang Mahsyar diselimuti aura kesejukan, kedamaian, ketundukan.
“Apa yang kalian perselisihkan?” tanya Tuhan.
“Sebuah doa, Yang Mulia,” jawab malaikat juru timbang. “Doa
dari seorang bernama Kusmana bin Abdullah.”
“Doa itu dibacakan di tahlilan saya, Tuhan,” sela Haji Januri.
“Tapi itu untuk saya, Tuhan,” Subhan ikut menyela. “Kusmana
sahabat saya.”
Malaikat meneruskan, “Meski doa itu dibacakan di tahlilan Ahmad
Januri bin Idris, dan tentunya Kusmana bin Abdullah mengaminkan doa yang
dialamatkan untuk Ahmad Januri bin Idris, tapi hati Kusmana menujukan doa itu
untuk Muhammad Subhan bin Marijan, sahabatnya. Hanya saja doa tersebut masuk ke
kotak Ahmad Januri bin Idris sebab dikirim satu paket bersama doa dari peserta
tahlilan lainnya.”
“Hmmh, jadi ibaratnya SMS nyasar, gitu ya?”
“Betul, Yang Mulia.”
“Baiklah. Begini kebijakan-Ku. Doa itu merupakan hak Muhammad
Subhan bin Marijan. Tapi Ahmad Januri bin Idris pun berhak atas jasa sewa
karena kotaknya telah dipakai menyimpan doa orang lain. Lagi pula dia terlanjur
gembira dengan adanya doa itu di kotaknya, dan sungguh, berkat rahman rahim-Ku,
Aku tidak tega memupus kegembiraannya. Dengan ini Kuputuskan, Ahmad Januri bin
Idris tidak perlu menjalani penggodokan di neraka.”
Cerahlah muka Haji Januri. Dan dia bersujud sambil
membentur-benturkan jidatnya ke lantai berkali-kali. “Terima kasih, Tuhan…. Terima
kasih, Tuhan….”
Demikianlah. Dan untuk kedua kalinya, kembali kami dibuat
tertawa oleh –kali ini– cerita Subhan, ketika dia, Kusmana, dan kami semua
duduk-duduk sambil minum-minum seraya memeluk bidadari masing-masing di taman
surga. Alhamdulillah, tak satu pun di antara kawan kami yang ikut tahlilan
waktu itu sempat mampir di neraka. []