Oleh:
Ade Hidayat
Bulan Ramadhan telah tiba,
dan mesjid pun mulai ramai lagi terutama oleh anak-anak. Sebelum waktu Isya
tiba, anak-anak itu telah datang ke mesjid untuk berebut tempat shalat. Seperti
kebiasaan, ketika menunggu shalat, mereka berlari-larian, bercanda, dan bermain
apa saja yang bisa mereka lakukan. Sepertinya memang itulah yang mereka
harapkan, ingin bermain-main, karena kapan lagi mereka bisa bermain-main di
mesjid bersama teman-teman sebanyak ini? mereka bisa berlari sesuka mereka, dan
biasanya orang-orang tua pun jarang
melarang anak-anak tersebut, dan kalaupun melarang hanya sekedarnya
saja, karena mereka pun maklum akan keramaian yang biasa terjadi setahun sekali
ini.
Di hari pertama Ramadhan,
ketika mendengar suara adzan berkumandang, aku pun berangkat ke mesjid untuk
menjalankan ibadah shalat isya dan salat Taraweh berjamaah. Di mesjid, keadaan
begitu ramai dan penuh. Maklum, hari-hari pertama biasanya masih penuh, tapi
biasanya minggu ke dua dan ketiga mulai jarang lagi, dan minggu terakhir kadang
ramai, atau bahkan lebih sepi lagi karena biasanya orang-orang telah sibuk
untuk mempersiapkan lebaran. Aku kaget juga ketika sampai di Mesjid, ternyata
tempat sudah penuh dan ada juga beberapa orang yang menggelar tikar di samping
mesjid untuk mengikuti shalat tarawih berjamaah. Melalui jendela, aku berusaha
mencari tempat di dalam yang kira-kira bisa untuk satu orang lagi, tapi
ternyata tidak ada lowongan, penuh.
Ketika berusaha mencari
tempat itu, ada tetanggaku yang mengusulkan untuk mengikuti berjamaah dari luar
saja, dengan menggelar tikar/koran. Aku setuju, lalu kami mengambil koran dan
sajadah dan jadilah kami solat di pinggir mesjid.
Di hari berikutnya, aku
berangkat lebih awal, dan aku bisa masuk ke dalam mesjid walaupun penuh juga,
tapi aku bisa lebih tenang dari pada malam kemarin ketika di luar. Di dalam
ini, aku mendapat shaf hampir paling belakang, yang di shaf ini banyak anak
kecilnya yang selalu ribut, membuat buyar konsentrasi ibadah. Tapi mau
bagaimana lagi, anak-anak itu susah diatur.
Di sini ada hal yang
menurutku sangat menarik, mungkin ini sudah biasa, tapi ini menjadi luar biasa
saat kupikirkan dan rasanya aku tidak akan bisa melakukannya..
Di sebelahku ada seorang
ayah bersama anaknya yang masih kecil sedang melakukan shalat tarawih
berjamaah. Karena mereka tepat berada di sebelahku, maka mau tidak mau aku
melihat tingkah anak itu yang tak bisa diam sedikitpun. Dimulai ketika ayah dan
anak itu masuk mesjid, sampai berada di sebelahku, aku perhatikan ayah dan anak itu, karena kuakui anak itu cakep
juga, dan si ayah pun terlihat berwibawa dan gagah. Tapi kuperhatikan pula
bahwa si anak begitu terlihat ‘sangat agresif’, tak sedetikpun ia diam dan
mengikuti shalat tarawih dengan baik, melainkan dia selalu saja berisik,
berjalan, berlari, dan kadang tertawa dengan temannya yang lain.
Tadinya aku tidak
memperdulikan tingkah anak itu, tapi lama-kelamaan, tingkahnya itu
menjengkelkan juga, bahkan sering juga lewat di depan ku, dan jika hendak
sujud, aku atau pun si ayah tadi harus menunggu si anak menyingkir terlebih
dahulu. Ketika rakaat shalat telah beres, si ayah mengingatkan anaknya agar
tidak jalan-jalan dan mengikuti shalat dengan baik, pertama si anak nurut, dan
meng-iya-kan, tapi kenyataannya tetap seperti biasa, jalan-jalan dan mengganggu
saja, sekali-sekali menaiki ayahnya yang sedang sujud atau rukuk, duduk di
pangkuan ayahnya ketika sedang duduk akhir, atau duduk di tempat sujud.
Aku yang tidak diganggu
secara langsung saja merasa jengkel terhadap anak itu, ingin rasanya aku pindah
tempat shalat, tapi semua tempat telah penuh. Akhirnya mau tidak mau, aku harus
mengikuti setiap kegiatan anak itu, yang jelas sekali itu pun menggangguku.
Bukan satu dua tiga kali si
ayah tersebut mendapat beban dipunggungnya saat sujud, atau saat rukuk. Tapi
yang membuat menarik, si ayah tersebut begitu sabar menghadapi anaknya itu. Dari
raut mukanya tidak terlihat kebencian atau kejengkelan terhadap anaknya bahkan
ia tetap menasihati anaknya itu dengan senyum dan dengan penuh kasih sayang,
Subhanallah begitu hebatnya. Begitu sabarnya orang tua itu menghadapi kenakalan
anaknya. Kalau aku, mungkin sudah marah-marah atau bahkan sudah kupukul anak
itu.
Menjelang witir, anak itu
makin menjadi-jadi tingkahnya, tidur-tiduran di depan tempat sujud ayahnya,
lalu lari ke depan orang lain yang sedang solat, secara berulang-ulang, dan
akhirnya anak itu menangis karena terantuk alas solat dan terjatuh. Melihat hal
itu, si Ayah tadi langsung memangku anaknya kemudian keluar mesjid, tanpa menyelesaikan witirnya. Mungkin kesabarannya
hilang setelah melihat si anak mengganggu orang lain.
Aku tidak mengetahui
kelanjutan nasib anak tadi, tapi yang pasti aku yakin bahwa ayah tadi tidak
akan memarahi anaknya, paling juga hanya menasihatinya saja.
Setelah tarawih dan witir
selesai, aku tidak langsung pulang, tapi tadarusan dulu di mesjid. Di sela-sela
tadarusan, aku sempat berfikir dan teringat juga tentang kejadian tentang
kesabaran ayah tadi, aku berfikir mungkin dulu pun aku seperti itu, bahkan bisa dipastikan seperti itu. Aku merenung,
betapa sabarnya orang tua ku juga, mengajakku ke masjid, yang sebenarnya aku
begitu merepotkan. Tapi pasti orang tuaku (juga orang tua tadi berharap pada
anaknya) berharap aku akan terbiasa untuk shalat ke masjid, walaupun orang tuaku harus bersusah terlebih dahulu.
Lama sekali aku merenung,
sampai tak terasa orang yang tadarusan sudah pada pulang dan tinggal aku
sendirian di masjid. Kutengok jam dinding, sudah jam 11.30 malam. Masih dengan
mengingat kejadian tadi, samar-samar aku melihat si Ayah tadi dengan anaknya
sedang solat pada shaf paling depan, dan anehnya, anak yang sejak tadi
mengganggu shalat orang tuanya itu kini terlihat begitu baik, mengikuti setiap
gerak ayahnya. Aku jadi terharu melihat anak itu, masih kecil tapi begitu baik
dan menuruti orang tuanya. Kelak pasti anak itu akan menjadi anak yang soleh.
Tapi saat yang bersamaan, aku mendengar suara anak kecil di shaf paling
belakang. Aku sempat terhenyak, ketika
samar-samar aku melihat juga si Ayah tadi sedang shalat dengan anaknya, tapi
terlihat berbeda dengan yang shalat di depan, anak si Ayah ini terlihat
berlari-lari mengelilingi ayahnya yang sedang shalat, sesekali anak itu menaiki
punggung ayahnya jika sedang sujud.
Aku terhenyak saat tersadar
bahwa aku tidak melihat siapa-siapa baik di depan maupun di shaf belakang. Aku segera keluar dari mesjid untuk
pulang, aku tidak mau lama-lama melihat bayangan-bayangan tadi.
Sebenarnya aku masih saja
berpikir tentang anak tadi, apakah aku dulu seperti itu? wah merepotkan sekali
aku pada orang tuaku. Aku jadi teringat pada ayahku yang telah tiada, yang dulu
telah banyak aku susahkan. Ayah, semoga kau dapat melihatku yang baru pulang
dari mesjid ini. Aku ke mesjid ini juga adalah hasil kerja kerasmu mendidikku,
bersabar dengan segala kenakalanku, dan dengan kasih sayang mengajarkan
pentingnya untuk memakmurkan mesjid. Ayah, aku janji, setiap langkahku ke
mesjid ini, kau pun akan menuai pahala darinya. Amin.