Jauh
berabad-abad yang lalu sebelum Daniel Goleman mempopulerkan istilah Emotional
Quotient (kecerdasan emosional), Rasulullah SAW, telah mengajarkan EQ kepada
kaum muslim melalui akhlak perilaku yang tiada duanya di dunia ini. Rasulullah
SAW., telah menunjukan betapa akhlaknya yang mulia mampu membawanya sebagai
manusia paling berpengaruh di dunia ini. Karena itu, asumsi Goleman bahwa yang
paling mempengaruhi kesuksesan seseorang bukanlah IQ, melainkan EQ bisa
dibenarkan ketika melihat contoh paling nyata pada diri Muhammad SAW.
Rasulullah
saw. dipercaya dan dihormati karena ketinggian akhlaknya. Ia dicintai karena
curahan kasih sayangnya yang tiada tara kepada umat manusia. Ia diagungkan
karena kerendahan hatinya, demikian hingga kecerdasan emosional yang dimiliki
Rasulullah ini menjadi buah kerinduan yang membuat umatnya kerap menitikan air
mata dan ingin berjumpa dengan beliau walau sekedar lewat mimpi.
Jadi,
ketika membaca apa yang diuraikan oleh Goleman tentang EQ, sebenarnya hal
tersebut bukanlah barang baru bagi kaum muslim karena telah pula termaktub di
dalam AL-Qur’an dan Assunah. Pun ketika ada pendapat yang mengatakan Spiritual
Quotient (SQ) sebenarnya lebih menentukan sukses karena gabungan dari IQ dan
EQ, kita tidak perlu terkejut. Karena hal tersebut telah pula ditunjukan oleh
Rasulullah. Siapa yang masih meragukan kuatnya ibadah Rasulullah?
Dan
terakhir ketika ahli yang lain memperkenalkan istilah Adversity Quotient
(kecerdasan kegetiran/penderitaan), apa yang kurang jika kita bandingkan dengan
sepanjang hidup Rasulullah yang penuh kegetiran. Kegetiran hidup memperbesar
rasa empati pada dirinya dan memperkuat keyakinannya untuk mempertahankan hidup
(survival) dengan menggabungkan kerja dan ibadah sebagai satu tarikan nafas
yang sinergi. Pendeknya, Rasulullah saw, memiliki kecerdasan multidimensi.
0 comments:
Post a Comment