Thursday, 28 February 2013


BERI AKU NASIHAT



Malam kemarin aku menerima sebuah pesan di facebook dari seorang sahabat, “Saudaraku, beri aku nasihat …” Aku sempat tertegun membacanya, sambil menghela nafas kata-kata itu seperti menembus relung terdalam bathinku yang sedang berteriak keras, bahwa sejujurnya saat ini akulah yang seharusnya lebih banyak mengirimkan pesan semacam itu kepada semua sahabat, saudaraku dimana saja.
Sungguh aneh rasanya jika ada orang yang enggan menerima nasihat, dan lebih aneh lagi jika ternyata ada orang yang gemar berkata-kata tanpa banyak menggunakan telinganya untuk mendengarkan orang lain. Dilihat dari struktur indera yang kita miliki, seharusnya setiap manusia sadar bahwa keberadaan dua telinga yang ditempatkan Allah di kanan dan kiri manusia agar dapat menangkap setiap pesan dan masukan lebih banyak. Bukan sebaliknya, menutup telinga rapat-rapat sementara membuka mulut dengan lebar sambil mengeluarkan banyak kata. Fitrah dan kodratnya demikian.
Allah ciptakan mulut dengan dua katup bibir yang bisa bergerak menutup dan membuka agar manusia bisa mengerti kapan waktunya diam dan kapan waktunya bicara. Dua bibir itu pula yang seharusnya mengontrol gerak lidah yang letaknya didalam rongga mulut. Sudah jelas, jika bibir tidak terbuka maka lidah pun tidak akan bergerak sehingga tak ada kata-kata yang keluar. Sedangkan Dia ciptakan sepasang telinga dengan cuping yang lebar tanpa kemampuan bergerak menutup dan selamanya terbuka. Tentu saja, karena Allah menginginkan kita terus menerus memasang telinga ini untuk mendengar, filterisasinya hanya ada di otak manusia yang menyeleksi apakah setiap pesan yang masuk akan diteruskan ke hati, mata da indera lainnya atau tidak.
Oleh karenanya, kepada sahabat yang malam kemarin mengirimkan pesan untuk meminta nasihat kepadaku, terus terang aku meminta, berlakulah adil kepada saudaramu ini. Bahwa sebenarnya saat ini aku yang jauh lebih memerlukan masukan, agar aku mendapatkan suntikan energi, arah dan motivasi yang lebih segar. Bukankah demikian perintah yang berbunyi dalam Surah Al Ashr, bahwa orang beriman hendaknya saling menasihati. Artinya, jika anda sudah sering mendapatkan nasihat dari saudara anda selama ini, adillah kepadanya dengan memberikan nasihat kepadanya. Tentu saja, ini bukan sekedar latihan bahwa kelak di akhirat mulut ini akan terkunci.
Wallahu a’lam bishshowaab.

Monday, 18 February 2013


Rasulullah SAW, Sang Pemilik Kecerdasan Multidimensi


Jauh berabad-abad yang lalu sebelum Daniel Goleman mempopulerkan istilah Emotional Quotient (kecerdasan emosional), Rasulullah SAW, telah mengajarkan EQ kepada kaum muslim melalui akhlak perilaku yang tiada duanya di dunia ini. Rasulullah SAW., telah menunjukan betapa akhlaknya yang mulia mampu membawanya sebagai manusia paling berpengaruh di dunia ini. Karena itu, asumsi Goleman bahwa yang paling mempengaruhi kesuksesan seseorang bukanlah IQ, melainkan EQ bisa dibenarkan ketika melihat contoh paling nyata pada diri Muhammad SAW.
Rasulullah saw. dipercaya dan dihormati karena ketinggian akhlaknya. Ia dicintai karena curahan kasih sayangnya yang tiada tara kepada umat manusia. Ia diagungkan karena kerendahan hatinya, demikian hingga kecerdasan emosional yang dimiliki Rasulullah ini menjadi buah kerinduan yang membuat umatnya kerap menitikan air mata dan ingin berjumpa dengan beliau walau sekedar lewat mimpi.
Jadi, ketika membaca apa yang diuraikan oleh Goleman tentang EQ, sebenarnya hal tersebut bukanlah barang baru bagi kaum muslim karena telah pula termaktub di dalam AL-Qur’an dan Assunah. Pun ketika ada pendapat yang mengatakan Spiritual Quotient (SQ) sebenarnya lebih menentukan sukses karena gabungan dari IQ dan EQ, kita tidak perlu terkejut. Karena hal tersebut telah pula ditunjukan oleh Rasulullah. Siapa yang masih meragukan kuatnya ibadah Rasulullah?
Dan terakhir ketika ahli yang lain memperkenalkan istilah Adversity Quotient (kecerdasan kegetiran/penderitaan), apa yang kurang jika kita bandingkan dengan sepanjang hidup Rasulullah yang penuh kegetiran. Kegetiran hidup memperbesar rasa empati pada dirinya dan memperkuat keyakinannya untuk mempertahankan hidup (survival) dengan menggabungkan kerja dan ibadah sebagai satu tarikan nafas yang sinergi. Pendeknya, Rasulullah saw, memiliki kecerdasan multidimensi.

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!